Mestinya setiap orang membiasakan selalu menggunakan perkataan atau ucapan yang baik, manakala bertegur sapa dengan sesama manusia, apapun warna kulit, bahasa, suku bangsa, bangsa, status sosial ekonomi dan agamanya. Betapa elok, manakala setiap perkataan atau ucapan yang terlontar dari mulut seseorang itu dapat melegakan dan menyejukkan hati lawan bicaranya. Syukur bila setiap ungkapan kata yang terlontar dari mulut, sekaligus merupakan do'a bagi lawan bicaranya.
Hendaklah dibudayakan juga, sekiranya akan melontarkan perkataan atau ucapan, dirasakan melalui rasa yang merasakan ( Jawa = roso pangroso ) terlebih dahulu. Sekiranya perkataan yang dilontarkan akan dapat menyakiti hati orang atau pihak lain, tidak usah dikatakan/diucapkan. Mudah -- mudahan dengan perlakuan demikian, dapat membuat diri sendiri dan pihak lain merasa bersuka cita dan bahagia, walau hanya melalui ungkapan kata-kata yang terlontar saat bertegur sapa.
Pemberian maaf. Hendaklah dibiasakan atau dibudayakan, mengedepankan sifat pemaaf. Tidak beranggapan bahwa, saling memaafkan atas kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan pada hari raya saja, sama sekali tidak. Pemberian atau permintaan maaf, dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Dilandasi rasa iklas lahir dan batin, bukan hanya sekedar basa basi dibibir belaka. Kata-kata bijak leluhur tanah Jawa mengatakan, rentenging koco biso ditembel, runtiking ati digowo mati. Yang arti harfiahnya, sakitnya badan dapat diobati, tetapi sakitnya hati dibawa mati. Bila pemberian maaf tersebut dapat dilaksanakan dengan tulus ikhlas, insya-Allah akan dapat memberikan rasa suka cita dan bahagia bagi para pihak yang memberi dan yang meminta maaf.
Dengan pembiasaan atau pembudayaan kedua hal tersebut, sama halnya dengan mendirikan shalat. Artinya manusia selalu ingat kepada Tuhan secara terus menerus tanpa terputus, baik dalam keadaan duduk, berdiri maupun berbaring. Ditandai dengan selalu mewujud -- nyatakan sifat -- sifat Allah Tuhan Yang Maha Suci dalam kesehariannya. Kedua bekal tersebut merupakan kekayaan batiniyah, jadi bila dinilai dari sisi materi atau nilai kebendaan tidak ada nilainya. Â Tetapi bila ditilik dari hasil perbuatannya, sangat besar nilainya dan tidak dapat dinilai pula dengan nilai kebendaan. Karena pembiasaan ini akan menghasilkan kesucian diri, kesucian jiwa dan kesucian hati ( di akherat penilaiannya ).
Sedekah. Berbeda dengan pemberian sesuatu yang bernilai kebendaan seperti sedekah, baik berupa uang atau barang, kepada orang atau pihak lain. Manakala saat memberikan kepada seseorang, sedikit saja melukai hati si penerima, akan merugi 2 kali. Pertama, rugi karena barang dan atau sesuatu yang diberikan tidak kembali. Kedua, rugi karena atas apa yang telah diperbuat tidak mendapatkan manfaat apa -- apa bagi dirinya.
Hendaklah dibiasakan atau dibudayakan pula mempunyai rasa bangga dan bahagia, mana kala dapat memberikan sesuatu yang membuatorangataupihaklainbersukacitadanbahagia. Kapan saja dan dimana saja berada, tidak ditentukan waktu dan tempat khusus untuk berbuat. Tidak usah menunggu bulan ramadhan, alias setahun sekali baru berbuat. Bila orang dapat berbuat demikian, mudah -- mudahan perbuatan ini dapat membuat rasa suka cita dan bahagia bagi si pemberi, dan si penerima barang yang bernilai kebendaan tersebut.
Dari ketiga barang yang diberikan atau diterima seseorang tadi, 2 diantaranya yaitu perkataanbaik dan pemberianmaaf tidak lain adalah sebagian harta seseorang yang bersifat tan benda. Sedangkan yang satu berupa barang atau uang, merupakan harta seseorang yang bersifat kebendaan atau biasa disebut harta benda. Dari kedua jenis harta yang diberikan, baik harta tan benda dan atau harta bendalah, yang akan dapat menyertai kembalinya Sang Suci kesisi Yang Maha Suci; Bilamana saat memperlakukan kedua jenis harta tersebut dilakukan dengan tulus ikhlas, sehingga dapat memberikan rasa suka cita dan bahagia, bagi para pihak yaitu pihak pemberi dan pihak penerima.
Mengapa? Karena perbuatan yang memberikan rasa suka cita dan bahagia tadi, sesungguhnya tidak hanya dinikmati oleh para pihak saja, melainkan Dia bersama didalamnya. Sebagaimana tersirat dalam surat Al Mujaadilah ayat 7. Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Benarkah? Mari diganti kata-kata pembicaraan rahasia dan pembicaraan, dengan kata-kata rasa suka cita dan bahagia. Sudah barang tentu akan bermakna sebagai berikut: Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada RASA SUKA CITA dan BAHAGIA antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada ( RASA SUKA CITA dan BAHAGIA antara ) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) RASA SUKA CITA dan BAHAGIA antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahu kan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Â
Atas dasar hal tersebut, mari berupaya agar dalam keseharian setiap tingkah laku, perbuatan dan tutur kata seseorang, dapat memberikan rasa suka cita dan bahagia kepada sesama, tanpa membeda-bedakan: warna kulit dan bahasanya, suku bangsa dan bangsanya, status sosial ekonomi dan agamanya. Karena hal tersebut pada hakekatnya, juga memberikan rasa suka cita dan bahagia kepada Tuhan. Dengan demikian maka tuntaslah tugas seorang khalifah di muka bumi ini, bila telah dapat memberikan rasa bangga, suka cita dan bahagia kepada sang pemberi mandat yang tidak lain adalah Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan rasa bangga, suka cita dan bahagia yang diterima Tuhan dari khalifahnya, sudah pasti Tuhan akan memberikan kepada sang khalifah sesuatu hal yang sama, bahkan berlipat dari yang diterima-Nya, begitulah janji Tuhan. Surat An Nissa' ayat 86. Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.