Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas izin-Nya kelompok peresah masyarakat ( teroris ) Santoso di Poso dapat dilumpuhkan. Juga sudah sepatutnya bila kita mengapresiasi Satgas Tinombala, yang telah berhasil melumpuhkan kelompok peresah masyarakat tersebut.
Apakah dengan tertembaknya Santoso, aktivitas terorisme terus berhenti? Ooo tidak, sama sekali tidak. Dan sudah tepat sikap para pembuat kebijakan dibidang ini, bahwa kegiatan terus dilanjutkan dengan operasi teritorial istilah meliternya. Artinya dilanjutkan dengan operasi pencerahan kepada masyarakat, agar masyarakat tidak terjebak dengan faham radikalisme atau ajaran sesat yang ditularkan kelompok teroris.
Mengapa demikian? Karena kelompok teroris dapat dikatakan sebagai pembawa virus faham radikalisme atau ajaran sesat, yang akan terus mewabah dimana kelompok tersebut berada. Atau dengan kata lain faham radikalisme atau aliran sesat yang menurut anggapannya paling benar, sudah pasti akan disebarkan guna mempengaruhi masyarakat demi mendukung eksistensinya didaerah tersebut.
Untuk menekan faham radikalisme, sudah barang tentu bukan melulu tugas aparat keamanan. Tetapi menjadi tugas kita bersama lebih – lebih pemuka agama, apapun agamanya. Kepada pemuka agama hendaklah berpikir, orang dapat berfaham radikal kemungkinan karena orang tadi belum memahami makna batiniyah perintah dan petunjuk Tuhan, sesuai agama yang dianutnya. Tidak malah lempar tanggung jawab, dengan terjadinya perbuatan teror disatu tempat pemuka hanya komentar, teror dapat dilakukan oleh pemeluk agama apapun.
Teror yang dilakukan oleh kelompok Santoso dan teror – teror yang terjadi sebelumnya, umumnya didasari atas pemaknaan sesat dari jihad. Benarkah jihad diaktualisasikan dengan melakukan pembunuhan, pencederaan terhadap orang lain yang tidak sepaham? Sedangkan firman Tuhan menyatakan : Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam( Surat Al Ankabuut ayat 6 ).
Oleh karena itu untuk menangkal faham radikalisme, diperlukan pemahaman yang benar dan tepat dari arti jihad itu sendiri. Paling tidak dengan penyampaian ajaran agama yang benar dan tepat, kelompok yang semula radikal akhirnya menyadari kesalahannya bahwa jihad yang sesungguhnya adalah memerangi hawa nafsu, demi keselamatan diri sendiri. Untuk sekedar mengingatkan makna jihad yang sesungguhnya, silahkan disimak ulang artikel di http://www.kompasiana.com/bangsayekti/jihad_5779f727f97a6131122c404b
Saya pernah bersurat kepada Menteri Agama RI tahun 2008 yang lalu ( meski saya juga tahu kalau tidak akan ditanggapi ), dan baru – baru ini ( tertanggal 11 Juli 2016 ) saya ulangi bersurat kepada Menteri Agama RI yang saya tembuskan kepada Presiden. Mengapa? Karena kalau boleh saya sebut, Menteri Agama hakekatnya adalah pengawal moral bangsa.
Mestinya dievaluasi, sejauh mana umat beragama umumnya dan khususnya umat Islam lebih-lebih pemukanya memahami makna “ngaji” yang sesungguhnya, baik terhadap “ayat Tuhan yang tertulis maupun ayat Tuhan yang tidak tertulis (termasuk diri manusia)”.
Isi surat antara lain. Saya teringat ngaji dimasa kecil ( sekitar 60 tahun yang lalu ), waktu itu pakai turutan namanya. Saya dibimbing membunyikan dan menghafalkan abjad Arab. Alif, bak, tak, sak, .......ya. Kemudian merangkai kata. Alif jere=I, nun jere = ni, dirangkai = Ini. Alif jere = I, bak domah = bu, dirangkai = Ibu. Bak domah = Bu, dal jere = di, dirangkai = Budi. Tiga kata lalu dirangkai menjadi, Ini Ibu Budi.
Saat ini tahun ajaran baru. Saya memposisikan diri menjadi guru PAUD / TK. Murid, saya bimbing membunyikan dan menghafal abjad Indonesia, a, b, c, d .......z. Kemudian merangkai kata. I ni = Ini. I bu = Ibu. Bu di = Budi. Tiga kata dirangkai menjadi Ini Ibu Budi.
Sama-sama tiga kata dirangkai menjadi kalimat Ini Ibu Budi. Mengapa yang menggunakan bahasa Arab dikatakan ngaji, sedangkan yang menggunakan bahasa Indonesia tidak pernah dikatakan ngaji. Apakah sudah benar dan tepat, bila ngaji hanya dimaknai dengan membaca dalam bahasa dan huruf Arab. Karena kenyataannya orang Arab yang non muslim, juga menggunakan bahasa Arab dalam berbicara.
Bisa dibayangkan kalau ngaji dimaknai seperti itu, apa iya saya yang saat ini berusia 68 tahun harus masuk PAUD / TK Arab dulu, agar dapat membaca ayat Allah yang tidak tertulis? Dan maaf, saat ini insya-Allah saya dapat membaca ayat Allah yang tidak tertulis, walau tidak mengerti bahasa Arab.
Selama ini umat hanya dibius dengan iming-iming membaca Al Qur’an dalam bahasa Arab dapat pahala dan masuk sorga, walau tidak tahu artinya tidak apa – apa. Akibatnya banyak yang terjerumus ke aliran sesat ( misal Gafatar baru-baru ini ) dan faham radikal ( kelompok Santoso dll). Karena apa yang dibaca tidak tahu artinya, sehingga umat atau pengikut hanya mengikuti dan menganggap selalu benar apa kata pimpinannya.
Padahal sudah jelas dikatakan dalam Al Qur’an, antara lain surat Yusuf ayat 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kamu disini adalah kaum Arab, karena Al Qur’an turun di tanah Arab dan disampaikan oleh Nabi Muhammad, yang juga beliau adalah orang Arab. Jadi agar dipahami oleh kaum Arab, sudah pasti disampaikan dengan bahasa Arab.
Siapa yang harus meluruskan makna ngaji, kalau bukan kita sendiri sebagai penganut Islam ( Surat Ar Ra’d ayat 11 )? Hakekatnya ngaji Al Qur’an adalah mempelajari perintah dan petunjuk Allah, yang umumnya disampaikan dalam bentuk perumpamaan. Agar kita dapat memahami makna batiniyahnya.
Makna batiniyah kita tanamkan dalam hati, lalu kita aktualisasikan kedalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata sehari – hari, demi terwujudnya manusia yang berakhlak mulia dan berbudi luhur. Mereka inilah sebagai generasi penerus bangsa, yang dapat kita andalkan untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, aman, sentausa lahir dan bathin di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan direkat semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Syukur alhamdulillah bila aktualisasi ajaran Islam di Indonesia, dicontoh oleh orang atau bangsa lain di dunia ini. Dengan kata lain, si’ar dan citra Islam berkumandang bukan hanya di Nusantara, tetapi juga berkumandang di seantero jagad raya ini. Inilah secercah harapan saya, yang telah berusia 68 tahun.
Namun mungkinkah harapan tadi dapat segera terwujud? Meski Presiden Jokowi telah mencanangkan Revolusi Mental? Istilah di kemeliteran mengatakan, prajurit tidak salah, yang salah adalah komandannya. Mestinya dibidang lain juga demikian, umat beragama tidak salah, yang salah adalah pemuka agamanya ( apapun agamanya ).
Mari kita rasakan, mungkinkah faham radikalisme dapat ditekan atau diminimalisasi, bila penyampaian firman Tuhan oleh pemuka ( apapun sebutan dan predikatnya ) hanya dibius ( Jawa = dicekoki ) dengan iming – iming pahala dan sorga, tanpa tahu makna?
Sungguh sangat memprihatinkan dan miris rasanya melihat kenyataan yang terjadi di daerah saya, mudah – mudahan hal ini hanya terjadi di daerah saya saja. Atas dasar hal tersebutlah, sampai – sampai saya memberanikan diri bersurat kepada Menteri Agama.
Betapa tidak, seorang pimpinan organisasi keagamaan tingkat Provinsi, menyampaikan risalah diharian lokal ( masih saya simpan ) pada Ramadan tahun lalu, dengan judul “Satu Huruf Al Qur’an 10 Kebaikan” dan terus berlanjut sampai sekarang. Berikut kutipan sesuai harian lokal dimaksud. Menurutnya, membaca setiap huruf dari Al Qur’an maka akan mendapat satu kebaikan. “Satu kebaikan bisa dihitung dan mendapatkan 10 pahala”, ujarnya.
Jika satu huruf sudah 10 pahala bagaimana dengan membaca sampai beberapa ayat bahkan satu juz Al Qur’an. “Bisa dibayangkan betapa banyak amalan yang didapat ketika membaca Al Qur’an terutama dibulan Ramadan seperti sekarang”, imbuhnya.
Atas dasar pernyataan pemuka seperti itu, bukan hanya masyarakat biasa saja yang mengamini, kepala daerahpun mengamininya. Bahkan menghimbau masyarakat agar memanfaatkan moment Ramadan tersebut, untuk memperbanyak membaaca al Qur’an agar mendapat pahala dari Allah, katanya. Masih pada harian lokal tersebut.
Bisa dibayangkan, bila penyampaian makna firman Tuhan masih seperti itu, akankah deradikalisasi berhasil atau malah sebaliknya radikalisme akan semakin merajalela.
Maaf saya adalah muslim, bukan berarti saya mendiskreditkan agama yang saya anut. Justru sebaliknya saya sebagai muslim, mempunyai tanggung jawab moral untuk saling mengingatkan, karena Allah tidak akan merubah keadaan yang ada, kalau orang Islam sendiri tidak berusaha untuk merubahnya.
Sebagaimana firman Tuhan dalam surat Ar Ra’d ayat 11 berikut. Bagi manusia ada malaikat - malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H