Bisa dibayangkan kalau ngaji dimaknai seperti itu, apa iya saya yang saat ini berusia 68 tahun harus masuk PAUD / TK Arab dulu, agar dapat membaca ayat Allah yang tidak tertulis? Dan maaf, saat ini insya-Allah saya dapat membaca ayat Allah yang tidak tertulis, walau tidak mengerti bahasa Arab.
Selama ini umat hanya dibius dengan iming-iming membaca Al Qur’an dalam bahasa Arab dapat pahala dan masuk sorga, walau tidak tahu artinya tidak apa – apa. Akibatnya banyak yang terjerumus ke aliran sesat ( misal Gafatar baru-baru ini ) dan faham radikal ( kelompok Santoso dll). Karena apa yang dibaca tidak tahu artinya, sehingga umat atau pengikut hanya mengikuti dan menganggap selalu benar apa kata pimpinannya.
Padahal sudah jelas dikatakan dalam Al Qur’an, antara lain surat Yusuf ayat 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kamu disini adalah kaum Arab, karena Al Qur’an turun di tanah Arab dan disampaikan oleh Nabi Muhammad, yang juga beliau adalah orang Arab. Jadi agar dipahami oleh kaum Arab, sudah pasti disampaikan dengan bahasa Arab.
Siapa yang harus meluruskan makna ngaji, kalau bukan kita sendiri sebagai penganut Islam ( Surat Ar Ra’d ayat 11 )? Hakekatnya ngaji Al Qur’an adalah mempelajari perintah dan petunjuk Allah, yang umumnya disampaikan dalam bentuk perumpamaan. Agar kita dapat memahami makna batiniyahnya.
Makna batiniyah kita tanamkan dalam hati, lalu kita aktualisasikan kedalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata sehari – hari, demi terwujudnya manusia yang berakhlak mulia dan berbudi luhur. Mereka inilah sebagai generasi penerus bangsa, yang dapat kita andalkan untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, aman, sentausa lahir dan bathin di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan direkat semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Syukur alhamdulillah bila aktualisasi ajaran Islam di Indonesia, dicontoh oleh orang atau bangsa lain di dunia ini. Dengan kata lain, si’ar dan citra Islam berkumandang bukan hanya di Nusantara, tetapi juga berkumandang di seantero jagad raya ini. Inilah secercah harapan saya, yang telah berusia 68 tahun.
Namun mungkinkah harapan tadi dapat segera terwujud? Meski Presiden Jokowi telah mencanangkan Revolusi Mental? Istilah di kemeliteran mengatakan, prajurit tidak salah, yang salah adalah komandannya. Mestinya dibidang lain juga demikian, umat beragama tidak salah, yang salah adalah pemuka agamanya ( apapun agamanya ).
Mari kita rasakan, mungkinkah faham radikalisme dapat ditekan atau diminimalisasi, bila penyampaian firman Tuhan oleh pemuka ( apapun sebutan dan predikatnya ) hanya dibius ( Jawa = dicekoki ) dengan iming – iming pahala dan sorga, tanpa tahu makna?
Sungguh sangat memprihatinkan dan miris rasanya melihat kenyataan yang terjadi di daerah saya, mudah – mudahan hal ini hanya terjadi di daerah saya saja. Atas dasar hal tersebutlah, sampai – sampai saya memberanikan diri bersurat kepada Menteri Agama.
Betapa tidak, seorang pimpinan organisasi keagamaan tingkat Provinsi, menyampaikan risalah diharian lokal ( masih saya simpan ) pada Ramadan tahun lalu, dengan judul “Satu Huruf Al Qur’an 10 Kebaikan” dan terus berlanjut sampai sekarang. Berikut kutipan sesuai harian lokal dimaksud. Menurutnya, membaca setiap huruf dari Al Qur’an maka akan mendapat satu kebaikan. “Satu kebaikan bisa dihitung dan mendapatkan 10 pahala”, ujarnya.
Jika satu huruf sudah 10 pahala bagaimana dengan membaca sampai beberapa ayat bahkan satu juz Al Qur’an. “Bisa dibayangkan betapa banyak amalan yang didapat ketika membaca Al Qur’an terutama dibulan Ramadan seperti sekarang”, imbuhnya.