Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemenangan Paripurna (2)

10 Juli 2016   08:00 Diperbarui: 10 Juli 2016   09:02 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demikian juga hendaklah dipahami apa makna yang terkandung dalam sembahyang, puasa, zakat, haji dan lain – lain. Bila sudah dapat memahami makna yang terkandung  didalamnya, mudah–mudahan kegiatan ritual yang kita lakukan, tidak hanya sekedar memperoleh kesia – siaan belaka.

Misal. Saat melakukan sembahyang, kita mengucap Allah Maha Besar. Melakukan gerakan rukuk. Melakukan sujud dengan posisi tubuh duduk membungkuk, hingga dahi menyentuh lantai dengan mengucap Allah Maha Tinggi. Ini merupakan pengakuan kita, bahwa diri kita amat kecil dibandingkan dengan Allah Yang Maha Segalanya.

Setelah sembahyang, ucapan dan gerakan rukuk sujud memang  sudah  tidak dilakukan oleh sang wadag. Tetapi ghaib, tetap wajib melakukan rukuk dan sujud sampai akhir khayat. Dengan demikian manakala telah sampai janjinya, Allah akan mewafatkan kita kapanpun dan dimanapun berada, kita tetap dalam kondisi rukuk dan bersujud.

Kalau pemahaman makna sudah sampai ketahapan tersebut, insya-Allah orang tidak mau membunuh atau mencelakai orang lain, walau dibayar seberapapun besarnya. Tetapi kalau masih mau melaksanakan, berarti orang tersebut menganggap bahwa uang lebih besar dan lebih berkuasa dari pada Allah Swt. Tuhan Yang Maha Segalanya.

Kesabaran, kejujuran dan keiklasan kita, diuji saat melaksanakan ibadah Haji. Karena pada saat ritual tersebut, pisik kita sudah pasti akan menerima berbagai macam ujian. Selama melaksanakan ritual haji, hendaklah  kita dapat menerima dengan sabar dan iklas, apapun yang terjadi pada pisik kita.

Demikian pula kejujuran diuji diritual haji ini. Diwajibkan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali dalam keadaan berwudhu. Andaikan baru mengelilingi Ka’bah 1 kali, lalu keluar dan mengatakan sudah mengelilingi sebanyak 7 kali. Siapa yang tahu, kalau kita sebenarnya tidak genap 7 kali.

Demikian pula selama mengelilingi Ka’bah buang angin, seharusnya keluar dan berwudhu tetapi diteruskan saja tawafnya. Siapa yang mengetahui kalau kita sebenarnya, telah buang angin.

Namun kesemuanya dipatuhi, mengelilingi Ka’bah ya 7 kali, buang angin lalu keluar untuk berwudhu kemudian melanjutkan tawafnya. Kesemua ini tidak lain adalah melatih atau menggembleng kesabaran, kejujuran dan keikhlasan atas diri kita.

Ritual haji usai, memang wadag sudah tidak melaksanakan rangkaian ritual haji; Tetapi ghaib tetap wajib melaksanakan, dengan mengedepankan iklas, sabar dan jujur terhadap apapun yang terjadi, sampai akhir hanyat. Dengan demikian manakala telah sampai janjinya, Allah akan mewafatkan kita, kapanpun dan dimanapun berada, kita tetap dalam kondisi berhaji.

Kalau pemahaman makna sudah sampai ketahapan tersebut, insya-Allah orang tidak mau menggunakan nama orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Orang tidak mau minta imbalan, atas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Orang akan tetap sabar dan ikhlas, dalam menghadapi penderitaan sepahit apapun yang menimpa dirinya.   

Hendaklah ritual sembahyang, puasa, zakat, haji dan lainnya dianalogikan atau dialur pikirkan layaknya kawah candradimukanya bagi penganut Islam. Untuk menggembleng atau menempa atau melatih diri, agar terbentuk manusia berakhlak mulia dan berbudi luhur.

Atas hasil kerja manusia berakhlak mulia dan berbudi luhur ini, tersedia ganjaran atau pahala baginya. Layaknya, sang Gatotkaca diganjar (pahala) menjadi raja para dewa, karena dapat membasmi musuh dewa, setelah digembleng di kawah candradimuka. Jadi ganjaran atau pahala itu, tempat memperolehnya bukan didalam kawah candradi muka atau bukan didalam kegiatan ritual itu.

Kapan kita akan menerima pahala? Ya kalau kita telah dapat mewujud – nyatakan atau mengamalkanhasil penggemblengan diri. Melalui kerja nyata, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baru Allah memberikan ganjaran atau pahalanya.  

Sesungguhnya tiap – tiap manusia terikat dengan apa yang diperbuat atau dikerjakannya, dan bukan terikat dengan apa yang dibaca dan dihafalkannya. Surat Ath Thuur ayat 21. Dan orang – orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu  mereka  dengan  mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap – tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.                                

Apabila telah dapat mengamalkan atau mewujud – nyatakan perintah dan petunjuk Tuhan melalui satunya kata dengan perbuatan, alangkah bahagianya hidup ini karena banyak orang yang termasuk dalam kelompok Al Hijr ayat 40  ( kelompok orang – orang mukhlis ). Atau dengan kata lain, kita tidak termasuk kedalam kelompok orang – orang yang dibenci Tuhan. Surat Ash Shaff ayat 3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Disini tampaknya ada sesuatu, yang luput dari pengajian kita selama ini. Mestinya setiap ritual yang dilakukan, dipahami makna yang terkandung didalamnya. Sehingga setiap ritual yang dilakukan, dimaknakan sebagai wahana atau sebagai tempat penggemblengan diri  dalam membentuk manusia berakhlak mulia dan berbudi luhur. 

Jadi pewujud – nyataan atau pengamalan perintah dan petunjuk Tuhan, hakekatnya merupakan upaya nyata memelihara kesucian diri, hati dan jiwa (Sang Suci). Bila asupan yang diberikan telah dapat menyehatkan kedua unsur pembentuk manusia, artinya seseorang tadi sudah dapat berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Wal hasil hari kemenangan yang kita rayakan, benar – benar perayaan hari kemenangan secara paripurna ( lahir dan batin).

Pakaian. Dalam tulisan lain saya melontarkan sebuah tebakan, apa beda antara manusia dengan binatang. Singkat ceritanya, manusia mempunyai nurani, kalau binatang tidak. Oleh karena itu bila seseorang diminta untuk berjalan ditengah keramaian tidak memakai pakaian, tidak mau. Artinya, manusia mempunyai  rasa malu (nek waras).                                               

Indonesia adalah Negara Besar yang sama – sama kita cintai dan banggakan. Terdiri lebih dari tujuh belas ribu pulau, dan tidak sedikit jumlah suku bangsa yang mendiami Negeri ini. Sudah barang tentu, memiliki adat dan budaya sendiri – sendiri. Mari saling menghormati, adat dan budaya yang ada di Nusantara ini.

Tidak perlu mengatakan adat dan budayaku yang baik, adat dan budayamu jelek. Kalau hal seperti ini yang ditumbuh kembangkan,  sudah barang tentu akan terjebak tipu daya iblis. Akhirnya, diri kita sendirilah yang akan menjadi budak iblis.

Hendaklah seseorang berupaya tidak menjadi budak sang wadag atau lahiriyah, yang nyata – nyata dikendalikan hawa nafsu. Sebaliknya, manusia  wajib  melakukan  perang  suci  (jihad) terhadap hawa nafsu yang berkiprah atas kendali iblis. Agar Sang Suci, dapat bertindak sebagaimana sifat dan kehendak-Nya.

Contoh sederhana, pakaian misalnya. Masing – masing daerah, mempunyai pakaian kebanggaan sendiri – sendiri. Sudah barang tentu menurutnya baik, tetapi menurut orang lain  belum  tentu  dikatakan  baik. Yang  penting,  tidak saling mencela. Hendaklah ditumbuh – kembangkan rasa saling menghormati dan saling menghargai adat istiadat diantaranya.

Berbicara tentang pakaian, inipun dapat dipergunakan untuk mengukur kemampuan berlaku adil, terhadap diri sendiri. Hakekatnya pakaian, pertama sebagai pembeda antara manusia dengan binatang. Kedua, pakaian untuk menutup aurat. Ketiga dan seterusnya pakaian itu untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam pergaulan, mempercantik / memperkeren diri seiring dengan perkembangan mode pakaian terkini, dan lain – lain.

Pertanyaan. Apakah dengan pakaian yang sedemikian keren dan indah bagi sang wadag, secara otomatis juga memperkeren dan memperindah penampilan Sang Suci? Tidak, sama sekali tidak. Inipun luput dari pengamatan dan pengajian kita selama ini.

Memang benar pakaian itu indah, tetapi baru untuk sisi lahiriyah saja.  Selama ini, tampaknya kita terlena dan terbius oleh keinginan – keinginan sang wadag saja. Lupa akan keinginan, apalagi memberi pakaian keren dan indah bagi Sang Suci. Jadi dalam hal berpakaian, umumnya kitapun belum dapat berlaku adil terhadap diri sendiri.

Bila dicermati uraian dalam makna berwudhu tadi, seolah – olah kita akan berbuat saja  sepertinya sudah dibelenggu oleh diri sendiri. Memang benar! Perasaan seperti itu adalah wajar. Karena mengawali perbuatan baru dan berupaya meninggalkan perbuatan yang telah lama membudaya, tentu akan muncul perasaan seperti itu. 

Tetapi bila sudah melangkah dengan membiasakan hal – hal baik kedalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata  dalam keseharian, insya - Allah perbuatan baik itu selanjutnya akan keluar secara spontan. Tanpa ada rasa berat, yang membelenggu atau membebani perasaan kita.

 “ Hidup karena kebiasaan”. Mari kita mulai membiasakan atau membudayakan perbuatan baik, sesuai dengan apa yang telah diniatkan atau dijanjikan, walau hanya satu kata sekalipun. Insya-Allah dengan pembiasaan ini, secara bertahap dan pasti akan dapat mewujudkan satunya kata dengan perbuatan. Muara akhirnya akan membentuk diri, menjadi insan yang bertaqwa. Insya-Allah. 

Taqwa inilah merupakan pakaian yang paling baik dan paling indah, diantara jenis pakaian yang dikenakan sang wadag. Surat Al A’raaf ayat 26. Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah  menurunkan kepadamu pakaian untukmenutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda – tanda  kekuasaan Allah, mudah – mudahan mereka selalu ingat.                                 

Mari dirasakan kemudian berhijrah, agar kita dapat berlaku adil kepada diri sendiri. Apabila pakaian yang dikenakan telah dapat memperindah penampilan kedua unsur  pembentuk  manusia,  berarti  kita sudah dapat berlaku adil terhadap diri sendiri.

Perbuatan adil sebagaimana uraian tadi, bila telah mampu diamalkan atau diwujud – nyatakan kedalam tingkah laku,  perbuatan  dan  tutur kata sehari - hari, merupakan pengejawantahan sifat dan kehendak Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa. Atau dengan kata lain, kita telah mampu mengendalikan hawa nafsu dan sekaligus mengejawantahkan sifat-sifat ke-Illahian diri kita sendiri. Insya-Allah.

Mudah-mudahan suka cita dan kebahagiaan dalam menyambut Hari Kemenangan tahun 1437 H bertepatan dengan tanggal 6 Juli 2016, benar – benar dapat dirasakan secara paripurna. Artinya ungkapan rasa suka cita dan bahagia yang diwujudkan dengan makanan dan pakaian yang serba-serba tadi, benar dirasakan oleh lahiriyah dan batiniyah kita. Insya-Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun