Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ratu Adil (2)

2 Juli 2016   09:07 Diperbarui: 2 Juli 2016   09:39 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah dikeluarga kami diikuti teman anak bungsu selama lebih kurang 3 bulan, yang kebetulan dia adalah keturunan Arab. Sudah pasti pintar membaca Al Qur’an dalam bahasa Arab. Suatu saat saya minta tolong, agar dia membacakan surat An Nuur ayat 35. Perintah dilaksanakan dan selesailah dia membacanya.

Selanjutnya saya bertanya, apakah makna yang terkandung dalam surat yang anda baca tadi? Dia menjawab, maaf pak saya tidak tahu apa makna yang terkandung didalamnya. Bukan jaminan bukan? Pintar baca dalam bahasa Arab, otomatis ngerti makna yang terkandung didalamnya.

Tidak usah menilai orang lain dulu. Mari kita cobakan dalam diri kita sendiri. Kita semua tentunya sudah mahir membaca dalam bahasa Indonesia. Silahkan dibaca terjemahan dalam bahasa Indonesia, surat An Nuur ayat 35 berikut.

Allah ( pemberi ) Cahaya ( kepada ) langit  dan  bumi. Perumpamaan cahaya  Allah, adalah  seperti  sebuah lubang yang tak tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca (dan) kaca itu  seakan–akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang  dinyalakan  dengan  minyak  dari  pohon  yang banyak berkahnya, ( yaitu ) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur (sesuatu) dan tidak pula disebelah barat(nya), yang minyaknya ( saja ) hampir – hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya ( berlapis – lapis ), Allah  membimbing  kepada  cahaya-Nya  siapa  yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan – perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.                         

Kemudian nilailah diri kita sendiri dengan jujur, sudahkah kita memahami makna yang terkandung didalamnya?

Adalah pembicaraan yang sudah menjadi kebiasaan, asal pemilihan Presiden selalu diramaikan dengan isu Satriyo Piningit. Karena itu anak bungsu saya Bayu namanya bertanya, pah siapa sesungguhnya Satriyo Piningit itu?               

Kalau ingin tahu, coba dhek Bayu mengambil kitab Al Qur’an dan Terjemahnya itu. Tolong dikaji seksama surat An Nuur  ayat 35. Selang sesaat, pah sudah saya baca surat An Nuur ayat 35, tetapi tidak memahami maknanya, lalu  bagaimana pah?

Dhek Bayu ingin mengetahui keberadaan Satriyo Piningit?

Benar, pah! Baik, tolong dibawa kitab Al Qur’an dan Terjemahnya. Lalu dhek Bayu mengambil posisi tegak berdiri menghadap kearah Utara, dengan melangkahi ( Jawa = ngangkangi ) garis yang membujur dari Utara ke Selatan ini. Dengan demikian kaki kiri menapak disebelah Barat garis, sedangkan kaki kanan menapak disebelah Timur garis.

Silahkan bagi yang ingin mengetahui keberadaan  Satriyo Piningit itu dimana, dapat memposisikan  diri  dan  mengikuti arahan layaknya peragaan ini.    

                                   

Siap? kata saya, dan siap sahut dhek Bayu. Silahkan dibaca surat An Nuur ayat 35 dengan tenang, dan dirasakan.

                                            

Mulai dhek Bayu membacanya.

Allah ( pemberi ) Cahaya ( kepada ) langit  dan  bumi.  Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu didalam kaca ( dan ) kaca itu  seakan – akan bintang   ( yang bercahaya ) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, ( yaitu ) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur ( sesuatu ),……..

stop kata saya. Tolong direntangkan tangan kanan dhek Bayu (anda) kearah timur, yang mengisyaratkan pohon zaitun tidak tumbuh disebelah timur ( sesuatu ). Setelah dilaksanakan, tolong dibaca selanjutnya,

… dan tidak pula disebelah barat ( nya ),….......... stop kata saya lagi. Tolong direntangkan tangan kiri dhek Bayu ( anda ) kearah barat ( tangan kanan sudah boleh istirahat untuk memegang kitab Al Qur’annya ), yang mengisyaratkan pohon yang banyak berkahnya   ( pohon zaitun ) tidak tumbuh disebelah barat           ( sesuatu ).                                           

Silahkan dari peragaan tadi, dhek Bayu ( anda ) simpulkan sendiri. Dimana kira – kira, tumbuhnya pohon zaitun atau pohon yang banyak berkahnya tersebut. Dhek Bayu tidak berkata, tetapi tangannya menunjuk ke dadanya sendiri, lalu berucap disini pah. Tepat, 100 buat dhek Bayu ( insya-Allah andapun demikian ).

Disitulah keberadaan ( Jawa = dununge ) Cahaya atau Nur Allah, dan yang oleh  nenek moyang kita disamarkan atau dikiaskan dengan sebutan Satriyo Piningit yang juga saya sebut sebagai Sang Suci. Baik pah terima kasih, sudah paham sekarang.

                                        

Selanjutnya mari kita analisis bersama.  Ungkapan  seperti  sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar tidak lain adalah wadag manusia. Karena bila wadag manusia itu dianalisis, kita juga tahu kalau merupakan rangkaian lubang ( pori – pori ) yang melingkupi atau membungkus sekujur tubuh, tetapi tidak tembus.

Coba diandaikan lubang itu tembus, layaknya pipa. Sudah barang tentu, bila dilihat dari belakang tembus kedepan, bila dilihat dari depan tembus kebelakang. Bila dilihat dari samping kiri, dapat tembus kesamping kanan. Dan sebaliknya bila dilihat dari samping kanan, dapat tembus kesamping kiri. Kalau demikian kondisinya  bukan wadag manusia namanya, melainkan ya pipa itu tadi.

Sebagai kenyataan, telinga kanan dan kiri manusia berlubang dengan posisi segaris antara kanan dan kirinya. Tetapi bila dilihat dari sisi kanan, tidak dapat tembus kesisi kiri. Sebaliknya bila dilihat dari sisi kiri, tidak dapat tembus kesisi kanan. Kalau demikian halnya bukan pipa namanya, tetapi wadag manusia.

Jadi  Satriyo Piningit itu keberadaannya, ada didalam wadag manusia dan akan selalu bersama dimanapun kita berada. Apapun bangsa dan suku bangsanya.  Apapun warna kulit dan bahasanya. Apapun agama dan keyakinan, serta kebudayaannya. Dengan kadar yang sama. Karena berasal dari tempat yang sama, dan kembalinyapun ketempat yang sama, yaitu Yang Maha Suci.

Surat Al Hadiid ayat 4.  Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Hujuraat ayat 13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal

Surat Ar Ruum ayat 22. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.                                

Mari mulai saat ini, dibudayakan atau dibiasakan. Manakala memandang orang lain tak ubahnya, memandang diri sendiri. Manakala bertegur sapa dengan orang lain tak ubahnya, bertegur sapa dengan diri sendiri. Manakala memperlakukan orang lain tak ubahnya, memperlakukan diri kita sendiri. Dan seterusnya dan seterusnya.

Yang kesemuanya itu, hendaklah diukurkan atau ditujukan terhadap diri  sendiri sebelum berbuat. Agar kita tidak terperangkap oleh bujuk rayu dan tipu - daya iblis, setan dan sebangsanya, melalui hawa nafsu yang ada dalam diri kita sendiri.                                          

Jangan mentang – mentang ( Jawa = ojo dumeh ) menjadi pejabat apapun jabatannya, lalu berbuat semena – mena kepada karyawan atau pembantunya. Jangan mentang – mentang menjadi majikan atau orang yang menggaji, lalu berbuat semena – mena terhadap buruh atau pembantunya.

Hendaklah kita  ingat dan sadar, secara terus menerus tanpa terputus ( shalat ) bahwa Satriyo Piningit atau Sang Suci yang ada dalam wadag si karyawan, si pembantu, si pengemis, si jembel sekalipun, adalah sama dengan Satriyo Piningit atau Sang Suci, yang ada didalam wadag kita sendiri.    

Kalau sudah dapat memahami siapa aku dan siapa dia yang sesungguhnya, insya-Allah dapat memaknai jihad yang sesungguhnya. Surat Al ‘Ankabuut ayat 6.                                     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun