Presiden Prabowo Subianto memberikan pandangan atas keputusan Gus Miftah yang mengundurkan diri sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. "Komentar saya, saya kira itu adalah tindakan bertanggung jawab, tindakan ksatria. Beliau sadar beliau salah ucap. Beliau bertanggung jawab dan beliau mengundurkan diri," ujarnya di Istana, Jumat (6/12/2024).
Pernyataan ini menyoroti sikap berani Gus Miftah yang mengutamakan tanggung jawab moral dan kehormatan sebagai pemimpin. Langkah ini, di tengah dinamika politik Indonesia yang kerap minim budaya mundur, memberikan teladan tentang bagaimana seorang pejabat publik dapat menunjukkan integritas dengan melepaskan jabatan demi menjaga martabat dirinya dan kelompok yang diwakili.
Belajar dari Jepang: Budaya Mundur yang Mengakar
Budaya mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban moral memiliki akar kuat di Jepang. Dalam masyarakat Jepang, kegagalan seorang pemimpin tidak hanya menjadi urusan pribadi, tetapi juga dianggap sebagai pelanggaran tanggung jawab terhadap kelompok yang diwakilinya. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai bushido, kode etik samurai yang menekankan keberanian (yu), kejujuran (makoto), integritas (gi), dan kehormatan (meiyo). Nilai-nilai ini telah mengakar dalam jiwa bangsa Jepang, menjadikan rasa malu dan tanggung jawab sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Di Indonesia, praktik semacam ini masih jarang terjadi. Dalam banyak kasus, tanggung jawab sering kali dialihkan kepada pihak lain, sehingga budaya pertanggungjawaban langsung belum sepenuhnya terinternalisasi. Namun, keputusan Gus Miftah untuk mundur memberikan teladan yang berbeda. Dengan berani mengakui kesalahannya dan mundur dari jabatan strategis, ia menunjukkan sikap bertanggung jawab yang mengutamakan kehormatan pribadi sekaligus menjaga kredibilitas kelompok. Langkah ini tidak hanya mencerminkan nilai moral yang tinggi, tetapi juga menjadi cerminan sikap ksatria yang relevan di mana pun budaya tersebut diterapkan.
Bushido dalam Langkah Gus Miftah: Kehormatan, Keberanian, dan Tanggung Jawab
Keputusan Gus Miftah untuk mundur adalah perwujudan nilai-nilai luhur bushido yang tercermin dalam sikapnya yang tegas dan bermakna. Ia menghidupkan kejujuran dan integritas (makoto dan gi) dengan mengakui kesalahan tanpa berlindung di balik alasan atau pembenaran. Dalam langkah itu, terselip keberanian (yu) untuk menghadapi konsekuensi sosial dan politik dari keputusannya.
Dengan menjaga nama baik (meiyo), Gus Miftah tidak hanya melindungi kehormatannya, tetapi juga menjaga martabat institusi yang diwakilinya. Keputusan ini sekaligus menunjukkan kesetiaan (chugo), di mana ia menempatkan tanggung jawab terhadap kelompoknya, yakni pemerintahan Kabinet Merah Putih, di atas kepentingan pribadinya.
Langkah mundurnya tidak hanya menjadi simbol tanggung jawab pribadi, tetapi juga kontribusi nyata untuk meredakan polemik yang dapat mengganggu stabilitas kelompok. Dalam kesederhanaan tindakannya, Gus Miftah menunjukkan bahwa tanggung jawab sejati adalah harmoni antara menjaga kehormatan diri dan melindungi kredibilitas yang lebih besar.
Refleksi bagi Bagi Pengemban Tugas Negara: Menggali Makna Tanggung Jawab dalam Setiap Langkah
Langkah Gus Miftah adalah sebuah cermin yang memantulkan, tak hanya wajahnya sendiri, tetapi juga wajah pejabat publik Indonesia. Dalam sepi dan kesendirian keputusan itu, terkandung sebuah renungan mendalam: apakah kita, sebagai pemegang amanah, masih memiliki rasa malu untuk menghadap masyarakat saat kehormatan kita tercemar? Karena, pada akhirnya, pemimpin sejati adalah yang tahu kapan harus mundur, bukan yang berusaha bertahan hingga semuanya hancur.
Budaya tanggung jawab yang menghargai kehormatan, seharusnya bukanlah sekadar ajaran yang tertanam dalam ruang kelas atau dalam retorika politik semata. Ia harus meresap dalam darah dan napas kehidupan sosial kita, menjadi bagian dari etos yang hidup dalam setiap tindakan. Keputusan Gus Miftah mengingatkan kita bahwa kehormatan bukanlah barang yang bisa dipertahankan dengan omongan, melainkan dengan keberanian untuk mengakui kesalahan dan menerima konsekuensinya.
Di tengah kebisingan politik dan permainan kekuasaan, Indonesia memiliki peluang untuk menggali kembali nilai-nilai luhur yang telah lama ada, yang dulunya hidup dalam jiwa para ksatria, yang mengutamakan tanggung jawab moral sebagai batu pijakan. Gus Miftah, dalam langkah sederhana namun penuh arti ini, mungkin adalah awal dari kebangkitan itu. Semoga ia menjadi inspirasi, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam setiap tindakan yang memprioritaskan kehormatan, keberanian, dan tanggung jawab, yang pada akhirnya memperbaiki integritas pemerintahan dan membangun kembali kepercayaan publik. Bukan hanya rakyat yang menilai, tetapi sejarah juga.
Bahan Bacaan:
Widarahesty, Y., & Ayu, R. (2013). Fenomena Pengunduran Diri di Kalangan Pejabat Publik Jepang (Studi Tentang Budaya Politik Masyarakat Jepang Tahun 2007-2011). Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, 2(1), Maret 2013.
Kompas. (2024, Desember 6). Respons Prabowo atas Mundurnya Miftah: Sebut Ksatria dan Cari Pengganti. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2024/12/06/21154031/respons-prabowo-atas-mundurnya-miftah-sebut-ksatria-dan-cari-pengganti?page=all
Kompas. (2022, Oktober 9). Mengapa Pejabat Jepang Sering Mengundurkan Diri, Tapi Pejabat Indonesia Tidak? Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2022/10/09/170000565/mengapa-pejabat-jepang-sering-mengundurkan-diri-tapi-pejabat-indonesia?page=2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H