Budaya tanggung jawab yang menghargai kehormatan, seharusnya bukanlah sekadar ajaran yang tertanam dalam ruang kelas atau dalam retorika politik semata. Ia harus meresap dalam darah dan napas kehidupan sosial kita, menjadi bagian dari etos yang hidup dalam setiap tindakan. Keputusan Gus Miftah mengingatkan kita bahwa kehormatan bukanlah barang yang bisa dipertahankan dengan omongan, melainkan dengan keberanian untuk mengakui kesalahan dan menerima konsekuensinya.
Di tengah kebisingan politik dan permainan kekuasaan, Indonesia memiliki peluang untuk menggali kembali nilai-nilai luhur yang telah lama ada, yang dulunya hidup dalam jiwa para ksatria, yang mengutamakan tanggung jawab moral sebagai batu pijakan. Gus Miftah, dalam langkah sederhana namun penuh arti ini, mungkin adalah awal dari kebangkitan itu. Semoga ia menjadi inspirasi, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam setiap tindakan yang memprioritaskan kehormatan, keberanian, dan tanggung jawab, yang pada akhirnya memperbaiki integritas pemerintahan dan membangun kembali kepercayaan publik. Bukan hanya rakyat yang menilai, tetapi sejarah juga.
Bahan Bacaan:
Widarahesty, Y., & Ayu, R. (2013). Fenomena Pengunduran Diri di Kalangan Pejabat Publik Jepang (Studi Tentang Budaya Politik Masyarakat Jepang Tahun 2007-2011). Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, 2(1), Maret 2013.
Kompas. (2024, Desember 6). Respons Prabowo atas Mundurnya Miftah: Sebut Ksatria dan Cari Pengganti. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2024/12/06/21154031/respons-prabowo-atas-mundurnya-miftah-sebut-ksatria-dan-cari-pengganti?page=all
Kompas. (2022, Oktober 9). Mengapa Pejabat Jepang Sering Mengundurkan Diri, Tapi Pejabat Indonesia Tidak? Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2022/10/09/170000565/mengapa-pejabat-jepang-sering-mengundurkan-diri-tapi-pejabat-indonesia?page=2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H