Kita juga memahami bahwa kemunculan konsep livelihood itu objek kajiannya masyarakat miskin yang ada di desa, di mana secara sosiologis masyarakatnya homogen. Tentu sangat berbeda manakala digiring kepada masyarakat urban yang memiliki banyak perbedaan.Â
Meskipun bisa disiasati bahwa objek kajian bisa berubah dan beragam, tetapi secara prinsip metodologi itu menentukan hasil kajian itu sendiri. Tak heran jika ada kaidah, bahwa metode itu lebih penting daripada isi (attoriqotu ahammu minal madda)
Dalam pandagan penulis, cara yang paling mudah dan memungkinkan jika serius menggunakan metodologi livelihood, maka harus memuculkan kategorisasi profil atau pendapatan MBR. Misalnya, kategorisasi MBR yang mata pencahariannya sebagai petani, MBR yang pendapatannya sebagai pedagang dan MBR yang mata pencahariannya sebagai jasa.
Penyederhanaan ini dilakukan untuk memotret agar pentagonal asset sebagai alat kajian mampu merekam dan menganalisa bagaimana MBR yang menggunakan perahu KOTAKU bisa masuk dan terangkut untuk menuju pelabuhan penghidupan masyarakat yang tangguh dan tahan goncangan
Tetapi ada cara yang lebih sederhana lagi, dan mungkin ini yang bisa dilakukan dalam program KOTAKU. Tanpa memperdulikan pekerjaan dan kategorisasi MBR. Yakni menempatkan MBR sebagai objek kajian umum, persoalannya umum,pertanyaan umum masalahnya umum dan keinginanannya sesuai dengan MBR itu sendiri. Sehingga generalisasi pada masalah yang dihadapi  MBR bisa dilakukan tetapi intervensi kepada MBR itu dilakukan secara khusus sesuai kondisi MBR. Itu saja.sekian[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI