Mohon tunggu...
Abdus Salam
Abdus Salam Mohon Tunggu... Pekerja Sosial -

Penikmat Buku dan Kopi Tubruk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dialektika "Livelihood" dalam Narasi Kota Tanpa Kawasan Kumuh

20 Juni 2018   08:28 Diperbarui: 21 Juni 2018   07:13 6367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kota tanpa kumuh (Pixabay)

Praktik pembangunan yang cenderung dehumanistik seringkali tak mampu menuntaskan dan menyelesaikan ragam persoalan yang mendera masyarakat, utamanya masyarakat miskin. 

Pembangunan yang bias rezim, projek, bahkan bias fasilitator pembangunan dan sederet  ragam kepentingan menjadi bukti bahwa praktik eksploitasi kepada manusia semakin tak bisa dibendung. Dan akhirnya, kemiskinan hanya menjadi terma riset dan regulasi yang tak bermuara kepada kesejahteraan masyarakat.

Alih-alih program pembangunan menjadi media akselerasi dan katarsis perubahan dan transformasi sosial dari masyarakat tidak berdaya menjadi berdaya. Justru yang terjadi masyarakat miskin semakin teralinasi dari kondisi sosialnya yang segregatif.  Menilik realitas itulah memunculkan alternatif metode dan pendekatan yang berbeda dalam pembangunan

Menempatkan livelihood sebagaimana hasil ijtihadnya Robert Chambers terhadap praktik pembangunan yang terjadi selama ini di mana menempatkan masyarakat menjadi objek pembangunan dinilai tidak cocok. Bahkan memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan saja tak cukup mampu memutus mata rantai kemiskinan dan keberlanjutan penghidupannya.

Oleh karenanya, bertumpu kepada manusia saja  dalam konteks pembangunan tak cukup sukses agar manusia itu bisa berdaya. Maka, sustainable livelihood dengan metode pentagonal aset menjadi solusi agar keberlanjutan dalam penghidupan tak hanya menjadi diskursus semu yang jauh panggang dari api

Livelihood dalam Kotaku

Lantas bagaimana livelihood dalam konsteks program KOTAKU. Keterbatasan penulis dengan litertatur serta kemampuan  dalam mengelaborasi gagasan Chambers barangkali menjadi penyebab utama sehingga agak rumit dalam mengurai pentagonal aset bersenyawa dengan 7 indikator itu. Kebingungan penulis dengan setumpuk literatur livelihood bisa bergandengan agar MBR itu bisa dikaji melalui strategi pentagonal asset. 

Kebingungan berlipat ganda saat penulis mengikuti TOT pemandu nasional pada tanggal 30-2 juni di Jakarta tentang materi livelihood yang dipaparkan di kelas C, kita menyadari pembahasan livelihood sangat terbatas.

Dan saya berasumsi mungkin pemahaman saya yang keliru, mungkin bacaan saya yang terbatas atau bahasa yang lagi tren mungkin saya kurang piknik dan ngopi sehingga tidak mampu memahami konsep livelihood secara utuh. 

Akan tetapi manakala dilakukan pembahasan lagi dalam acara konsolidasi pemandu di Hotel Singgasana Surabaya pada taggal 7-9 Juni teman-teman pemandu yang lain mengalami hal serupa yang saya pahami mengenai livelihood, jika meminjam bahasa teman saya Korkot Jember Zubandi Taher, ngapain rumit-rumit memikirkan livelihood, pasrahkan saja ke MK,benar juga gumamku.

Tampaknya, menjadi keniscayaan bahwa pentagonal aset menjadi alat dalam melakukan kajian kepada MBR.  Meskipun perdebatan semantik dan konseptual antara MBR dan kemiskinan tampaknya belum menemukan titik temu. Tetapi mengikuti logika jumhur memaknai MBR dan kemiskinan tidak berbeda, hanya istilah saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun