Halo semuanya...
Perkenalkan nama saya Sepriyani Malau, mahasiswa Universitas Negeri Medan. Saat ini mengikuti Kegiatan Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM 3) di Universitas Negeri Medan.
Teman-teman pasti tau kan apa yang ditunggu-tunggu saat mengikuti kegiatan ini ? Yaps, Modul Nusantara. Yang kegiatannya tak jauh dari seru-seruan, jalan - jalan, tapi pastinya tetap mengedukasi.
Nah, di sini saya akan berbagi bagaimana perjalanan saya mengikuti modul nusantara pertama Kelompok Kembang ke Taman Hutan Raya (Tahura), Ir. H. Djuanda Kota Bandung .
Emangnya Di Tahura ada apa aja sih?
Di Tahura terdapat banyak objek wisata yang cukup lengkap. Ada Goa Belanda, Goa Jepang, Monumen Ir.H. Juanda, Curug Dago, Curug Lalay, Curug Omas, Tebing Keraton, Penangkaran Rusa, dan tempat outbound lainnya. Untuk masuk ke Tahura dikenakan karcis masuk dan setelahnya di dalam akan ada papan informasi mengenai rute ke tempat-tempat menarik di area Tahura. Saat udara di kota tidak bersahabat, pekerjaan mengundang stres, berwisata ke Tahura bisa jadi solusinya. Kalau kata orang - orang sih, olahraga tipis-tipis karena jalur yang dilalui sedikit menanjak dan melalui beberapa anak tangga.
Petualangan kami kali ini hanya memakan waktu 45 menit dari Kampus UPI agar sampai di Tahura. Setelah dosen dan mentor kami selesai memberikan intruksi-intruksi yang nantinya akan kami lakukan di area Tahura, kami mulai menuju rute utama yaitu Goa Jepang dan Goa Belanda. Baru masuk kawasan hutannya saja kami sudah disambut oleh banyak sekali jenis pohon yang tinggi menjulang saling berjajar sepanjang jalan membuat suasana semakin sejuk dan pastinya menambah keestetikan Tahura ini.
Di perjalanan menuju Kedua Goa ini kita disuguhi pemandangan monyet  monyet yang bergerak bebas di sekitar hutan, dan yang pasti momen lucu ketika monyet  monyet tersebut mengambil makanan wisatawan. Tiba di Goa Jepang, sudah banyak orang yang menawarkan jasa tour guide atau senter karena memang keadaan di dalam goa yang sangat gelap, jadi bagi yang tidak memiliki senter bisa menyewa dengan tarif Rp 5.000,00 per senternya. Gua peninggalan Jepang ini menurut informasi yang beredar dulu dijadikan tempat persembunyian dan penyimpanan amunisi yang terdiri dari beberapa lorong goa yang dapat kita masuki. Kondisi goa ini sangat alamiah, dengan dinding yang terbuat dari batu dan terlihat banyak kelelawar bergelantungan di atas goa. Selesai menelusuri goa Jepang, kami melanjutkan perjalanan menuju Goa Belanda. Goa ini tampak lebih tertata rapi dibanding goa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari gerbang dan tiap-tiap dinding lorong di dalamnya sudah dilapisi semen. Goa Belanda ini dulunya digunakan sebagai pusat telekomunikasi, kegiatan militer, dan menjadi PLTA pertama di Indonesia.
Dari Goa Belanda, kami melanjutkan hiking tipis-tipis menuju penangkaran rusa. Setelah beberapa jam perjalanan, terdapat papan penunjuk lokasi Penangkaran Rusa, kita melewati beberapa bendungan ditambah angin sejuk yang turut memberi sensasi menyenangkan selama kita melakukan perjalanan di Tahura ini. Sesampainya di Penangkaran Rusa, saya sedikit kecewa karena tidak sesuai ekspektasi karena rusanya yang tergolong sedikit, tetapi hal itu tidak mempengaruhi apa-apa dalam perjalanan kami kali ini. Kami tetap ikut menikmati bermain-main dengan rusa, juga ikut memberi makan rusa rusa yang dikenakan tarif Rp 5000, 00 untuk 1 porsi makanannya.
Kita menghabiskan waktu lebih banyak di penangkaran rusa, ditambah lagi sembari teman-teman saya sholat di mushola yang tersedia di sana. Tadinya kita berencana ke curug dan tempat-tempat lainnya. Namun dikarenakan kondisi teman-teman yang sudah cukup lelah, juga waktu yang sudah sore kami memutuskan untuk pulang. Disini kita melalui rute yang sama lagi. Menambah keseruan perjalanan, kami memutuskan untuk kembali memasuki goa Belanda yang juga nantinya menuju pintu keluar.
Nah, di sini yang momen cukup berkesan untuk saya. Dosen, saya, dan juga Defri memutuskan untuk menyusuri Goa tanpa penerang apapun. Gelap, heran, aura yang berbeda campur aduk saya rasakan, kita berbicara satu sama lain terus menerus tanpa terlihat apa- apa sama sekali, bahkan teman saya beberapa kali menabrak sesuatu yang mengundang tawa, dan pastinya hal-hal lucu tersebut hanya alibi menghilangkan suasana aneh di dalam Goa yang tanpa penerang. Saat keluar dari Goa, kami bercerita apa-apa saja yang dirasakan selama perjalanan tadi. Berbagi pengalaman dalam hal ini sangat menarik bagi saya.
Saat berjalan tanpa penerang di Goa tersebut entah kenapa yang terlintas dipikiran saya adalah bagaimana hebatnya orang-orang dulu dapat berjalan dalam situasi seperti itu, bagaimana mereka mendirikan tempat yang seawet itu dengan bahan yang seadanya, bagaimana mereka bercengkrama satu sama lain padahal mereka belum tentu saling mengenal karena keterbatasan penerang pada zaman dulu.
Kami melanjutkan perjalanan hingga ke pintu keluar Tahura dan memastikan keberadaan satu sama lain. Setelah semua dirasa selesai, dosen dan mentor saya memberikan arahan singkat tentang perjalanan hari ini. Selanjutnya, kami bergabung dalam kelompok masing-masing dan melakukan perjalanan pulang ke kampus UPI.
Berwisata sambil berolahraga itu sudah biasa.
Namun, jika bisa menambah wawasan budaya dan sejarah peradaban, itu istimewa.
TAHURA DJUANDA, 09 SEPTEMBER 2023
Reporter: Sepriyani Malau
Editor: Salsa Solli Nafsika, M.Pd.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H