PT Sulawesi Mining Investments (SMI), JV antara Tshingsha dan Bitang8 Group, mulai mengoperasikan 300.000 ton per tahun pabrik feronickel di Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah. Masih di Morowali ada juga smelter Cina Guang Ching Nickle dan Stainless Steel Industry dengan dana investasi US$1 miliar untuk membangun smelter di Morowali.Â
Monopoli
Tak heran jika kemudian perusahaan-perusahaan Cina ini kerap melakukan monopoli. Jumlah mereka sangat sedikit tetapi mereka memiliki dana besar bangun smelter. Padahal, mereka tidak memiliki lahan konsensi nikel yang luas.
Bahkan ada perusahaan yang tidak memiliki konsensi (hulu) dan hanya mengharapkan biji nikel dari konsensi tambang kecil-kecil milik pengusaha Indonesia yang tidak memiliki cukup dana untuk membangun smelter.Â
Karena terdesak kebijakan pelarangan ekspor, konsensi yang kecil-kecil itu harus menjual biji nikel ke pabrik-pabrik smelter.Â
Sementara pabrik-pabrik smelter yang berjumlah sedikit ini melakukan kartel untuk menurunkan harga pasar. Sehingga mereka mematok harga sesuka hati. Padahal, ada Harga Patokan Mineral (HPM) yang sudah ditetapkan Dirjen Minerba dan mengikuti harga pasar London Stock Metal.Â
Jika mengikuti harga HPM, harga nikel seharusnya mencapai US$32/metric ton, tetapi pabrik-pabrik smelter hanya membeli biji nikel dari pengusaha jauh di bawah harga sekitar US$15-US$20/metric ton".
Modus operandi pemilik smelter sangat lihai. Pada saat transaksi, pihak pabrik smelter menggunakan trader dan laboratorium/surveyor yang tidak ditetapkan oleh pemerintah, yaitu INTERTEK.Â
Padahal dalam Permen ESDM No. 26 Tahun 2018, pemerintah tegas mengatur surveyor yang bisa digunakan antara lain Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Services, Anindya, dan SCC.
Akan tetapi, pemilik smelter mengabaikan ini. Sehingga bisa ditebak, hasil laboratorium INTERTEK ini, kadar nikel diturunkan dari hasil laboratorium yang ditetapkan pemerintah.
Â