Mohon tunggu...
Nirwan Suparwan
Nirwan Suparwan Mohon Tunggu... -

lahir di Kepulauan Selayar, sementara menempuh pendidikan D4 akuntansi sejak tahun 2010 hingga 2014 insyaallah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ayah, Biarkan Aku Bicara

17 November 2015   11:19 Diperbarui: 17 November 2015   13:24 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku tidak bisa melupakan kata-kata ayah yang menusuk dada. Kadang aku pikir, mungkin aku hanyalah anak pungut sampai ayah begitu mengabaikanku. Tapi, seandainya aku saja yang diperlakukan begitu sama ayah pasti pikiran liar itu benar tetapi, adik sama mama juga sering diperlakukan kasar sama ayah. Aku benar-benar kecewa sama ayah.

 

**Telat pulang,

Tidak terasa, ternyata sudah hari jum’at. Setiap hari jum’at, siswa baru mendapat pelajaran ektra kurikuler sehingga harus pulang sore. Tadi pagi, mama sudah kasi tahu kalau sore itu tidak bisa menjemputku karena harus lembur untuk persiapan operasi pasiennya. Harusnya ayah bisa menjemputku sore itu tapi karena ayah begitu capek jadi aku harus pulang dengan angkutan umum.

Pelajaran sudah usai dan ternyata aku baru sadar bahwa aku lupa bawa uang sama sekali. Handponeku juga sudah lowbat. Aku juga tidak menghafal nomor mama sama ayah. Aku mencoba meminjam handpone teman dan menghubungi nomor rumah tapi tidak ada yang angkat sama sekali. Aku bisa pulang barengan dengan teman tapi aku tidak punya helm. Aku pinjam uangnya teman tapi hanya cukup untuk sekali naik angkot padahal aku harus tiga kali ganti angkot. Tapi, tidak apalah yang jelasnya aku bisa memanfaatkan kesempatan itu. Sisanya aku bisa jalan kaki saja.

Petang sudah berganti malam. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 18.45pm.  Tidak seperti biasanya aku berkeliaran dijalan pada jam-jam seperti itu. Tapi, keadaan memaksaku untuk melakukannya. Aku harus berjalan dengan langkah seribu bahkan aku harus berlari untuk mencapai rumah secepat mungkin. Aku sudah kehabisan tenaga. Dari siang aku belum makan apa-apa, belum lagi bekal airku tinggal seteguk. Aku segera mengambilnya dalam tas dan meneguknya. Setidaknya dahagaku bisa teratasi walaupun itu hanya seteguk. Kemudian, aku melanjutkan langkahku. Semangat bisa diaduh tapi tenaga sudah nol, kakiku tiba-tiba kesandung dan akupun terjatuh ke trotoar. Tanganku lecet dan daguku terkena goresan hingga berdarah. Terpaksa aku harus mengurangi langkahku. Aku tahu orang di rumah akan khawatir terutama mama jika dia duluan sampai di rumah.

Sekitar pukul 20.32 pm barulah aku sampai di rumah. Segera aku mengucapkan salam, tapi belum salamku di jawab langsung ayah menghujaniku pukulan tertubi-tubi. Aku berusaha tegar dan tidak berkata apa-apa. Bajuku yang basah dengan keringat sebenarnya bisa dijadikan bukti bahwasanya aku pulang tidak dengan angkot tapi memang sifat ayah yang liar tak bisa terbendung.

Tak ada pertanyaan sama sekali jika ada kesalahan, pukulanlah yang menjadi pertanyaannya. Bibirku seperti ingin mengungkapkan alasan mengapa aku telat pulang tapi aku begitu takut. Jika ayah marah, ayah tak akan mendengar alasan dari siapapun. Aku lihat mata mama sedang berkaca-kaca, mungkin ingin membelaku tapi mama juga takut mengatakan apa-apa pada ayah. Sedang adikku Boby sudah duluan menangis melihatku di pukul sama ayah. 

Aku pun ditarik masuk ke ruangan ayah, kemudian pintunya di kunci. Aku sangat takut. Tak apa ayah memarahiku bahkan aku rela dipukul oleh ayah. Aku hanya khawatir ayah terkena stroke lagi karena luapan emosi yang berlebihan.

“Ayah, aku tahu aku salah, tapi aku punya alasan mengapa aku telat pulang. Jika ayah ingin mengadiliku, sebaiknya semua orang di rumah ini menyaksikan alasanku. Aku siap menerima konsenkuensinya jika memang aku bersalah.” Aku memberanikan diri untuk mengatakan hal itu pada ayah supaya mama bisa menjadi penengah dan bisa mencegah ayah saat emosi ayah berlebihan. Aku tahu tidak ada yang bisa menyelamatkanku kecuali diriku sendiri.

Ayah menyetujui permintaanku. Ternyata ayah benar-benar memperlakukanku seperti maling yang tertangkap basah dan siap dihadang oleh massa. Ayah langsung menyeretku dengan menarik kerah bajuku yang masih basah dengan keringat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun