Anak muda Jawa jaman sekarang mungkin akan menganggap "kuno" jika saat ini masih ada orang tua yang mendesak anaknya untuk meneliti babat, bibit, dan bobot orang yang akan dijadikannya istri atau suami. Bukan hanya dianggap "jadul", penerapan pandangan seperti itu di era demokrasi dan HAM sekarang ini dapat dianggap rasis dan feodalistik. Rasis karena bertendensi diskriminatif terhadap seseorang. Feodal, karena konsep babat-bibit-bobot identik dengan tatanan sosial ciptaan kaum ningrat, yang tidak rela hegemoninya "terkontaminasi" kalangan sosial jelata.
Terlepas dari apa pun motif sosial-politik penerapan filosofi yang terkesan "pongah" tersebut, berdasarkan ilmu genetika modern, babat-bibit-bobot memiliki makna dan fungsi survival.
Pewarisan Sifat dan Gen
Jika diterjemahkan secara bebas kata babat dapat diartikan asal-usul (silsilah). Bibit dapat diartikan sebagai kualitas biologis: berbadan sehat, subur, cantik/tampan. Sedangkan bobot, berkonotasi dengan kualitas status sosial: tingkat pendidikan, kekayaan dan/atau jabatan.
Seorang anak akan mewarisi (perpaduan) gen (blue print sifat) dari kedua orang tuannya. Ambil contoh seorang ibu sehat/normal tetapi membawa gen buta warna menikah dengan lelaki yang tidak punya leluhur buta warna. Secara statistik, 50% anak lelaki pasangan ini akan mengidap buta warna. Mengapa? Si ibu memang normal, tetapi dia membawa gen buta warna dari leluhurnya yang memiliki sejarah buta warna. Disinilah arti babat (silsilah)menjadi penting.
Selanjutnya soal bibit. Semua ciri biologis manusia seperti warna kulit, bentuk hidung, tinggi badan, serta ketahanan terhadap penyakit ditentukan oleh gen. Sehingga, berbagai aspek yang berkaitan dengan kesehatan, kecantikan, kesuburan atau kemandulan semua ditentukan oleh gen. Jadi, kualitas bibit (si anak) ditentukan oleh babat (kualitas gen orang tua).
Terakhir, bobot. Pendidikan dan kesuksesan karir adalah fungsi dari kecerdasan dan kualitas biologis (kekuatan otot, daya tahan tubuh, hingga penampilan). Kecerdasan dan kualitas biologis tubuh ditentukan oleh gen. Dengan demikian, bobot (kesuksesan soaial)seseorang ditentukan oleh bibit, artinya juga dipengaruhi fakltor gen.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa kualitas gen leluhur (orang tua) menjadi penentu kualitas biologis dan sosial anak-anaknya.
Babat-bibit-bobot: awal pembentukan nasib
Diatas sudah tergambar bahwa gen bertanggung jawab terhadap pembentukan ciri fisik (cantik/tampan), kualitas kesehatan (tangguh/mudah terserang penyakit), dan emosi (pemarah, ramah, pemalu, atau periang).
Bayangkan seorang gadis (sebut saja Si-A) mewarisi gen fisik "jelek", mudah sakit, pemarah, dan pemalu lalu dibandingkan dengan gadis lain (sebut saja si-B) yang mewarisi gen jelita, tahan terhadap penyakit, ramah, dan periang.
Akan samakah peruntungan si A dan si B dengan ciri dan sifat yang berbeda itu jika keduanya secara bersamaan melamar pekerjaan sekretaris? Misalnya saja, melamar jadi sekretaris pribadi anggota DPR?
Ehmm...rasanya si-B lah yang berpeluang lebih besar untuk diterima.
Kesimpulan
Prinsip memilih pasangan berdasarkan filosofi Jawa babat-bibit-bobot, meskipun terkesan pongah dan diskriminatif memiliki pijakan strategis-adaptif untuk kelangsungan hidup (survival) generasi penerus-penerus spesies manusia (Homo sapiens) yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H