Kulihat ia agak terperanjat. Ditengadahkannya wajahnya. Ia berhenti menyulam. Aduhai, caranya menatap itu bagai menunjukkan ketaksenangan dengan cara yang anggun. Aku merasa bersalah dibuatnya.
"Bolehlah kita bercakap sikit." Sesungguhnya aku tidak tahu hendak bicara apa kepadanya. Aku hanya merasa perlu mencairkan suasana. Kami tak mungkin terus saling diam. Setidak-tidaknya aku merasa begitu.
Jihan diam, menunggu. Tetapi, tak satu kata pun terucap dari mulutku. Jihan kembali menyulam. Aku salah tingkah dan kesal. Aku merasa patut untuk tak diabaikan. Tetapi salahku sendiri. Aku yang kehilangan kata-kata.
"Bolehlah kita saling mengenal," ucapku beberapa saat kemudian.
"Awak dah kenal saya melalui cerita Ayah," balas Jihan. Ia terus menyulam. Pilihannya untuk menyebutku 'Awak' membuatku kesal. Aku merasa semestinya ia menyebutku 'Kanda' atau 'Abang'. Walau tak ada cinta, ia tetap istriku. Aku bukan orang asing yang setara dengan kata 'awak'.
"Tunggu dia rela." Suara muram Makcik Bedah memenuhi rongga dadaku. Aku ingat suatu kali pernah bertanya, "apakah mungkin seorang istri tak pernah rela?" Tegas Makcik menjawab, "kalau kau bersabar dengannya, tak akan Bang. Ia pasti rela. Pasti." Seketika larut rasa kesalku karenanya.
Tak tahu mesti berucap apa, akhirnya kuputuskan untuk bercerita tentang Makcik Bedah yang malang kepada Jihan. Melalui cerita itu, kusiratkan kepada Jihan bahwa aku tak macam Pakcik Hasan yang memanfaatkan ajaran suci 'pintu surga istri ada pada suami' untuk kepentingannya. Tak perlulah ia cemas bahwa aku akan memperlakukannya dengan semena-mena.
Jihan terus menyulam selagi aku bercerita. Ia baru berhenti menyulam ketika aku selesai bercerita dan keheningan yang janggal menyesakkan kamar. Ia lalu menengadah dan mengatakan sesuatu yang tak kusangka-sangka.
"Awak tak perlu kuatir. Akan saya tunaikan kewajiban sebagai istri. Tapi tidak malam ini. Saya lagi datang bulan."
Aku tertawa di dalam hati. Aku memaki di dalam hati. Telah jauh pikiranku mengembara, itu sajakah alasan mengapa ia menyulam? Aku tersenyum kecut kepadanya. Aku menggaruk-garukkan kepala yang kurasa gatal tiba-tiba. Jihan kembali menyulam. Sama sekali tak dapat kuraba perasaannya.
Tak aku sesali pikiran yang mengembara ke mana-mana itu. Kusyukuri, bahkan, karena kuat sudah apa yang sebelumnya masih goyang. Seperti kubilang, ada tiga macam alasan hubungan badan: cinta, nafsu, kewajiban. Yang paling indah pastilah ketika ketiganya bercampur dalam satu harmoni. Aku ingin malam pertamaku dengan Jihan ada dalam harmoni itu.
Ia tak akan datang dalam waktu dekat ini. Tidak pada saat Jihan selesai datang bulan. Mungkin aku masih akan menunggu lama. Aku toh masih perlu belajar mencintainya. Akan tetapi aku punya firasat, harmoni itu tiba saat Jihan memanggilku Abang atau Kanda.