Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Pertama

8 Agustus 2023   18:31 Diperbarui: 8 Agustus 2023   18:43 3880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Janganlah Makcik berdoa macam tu." Aku berusaha menetralkan suasana.
"Tak doa. Manalah tahu. Abang tengoklah keluarga besar kita."
Sejauh yang kulihat, pernikahan karena dijodohkan adalah kelaziman di keluarga kami. Ayah dan Emak dijodohkan. Semua paman dan bibiku menikah karena dijodohkan. Sebagian besar sepupuku pun dijodohkan. Satu dua saja yang menikah dengan pilihan sendiri. Ketika kutanya Ayah mengapa perjodohan menjadi tradisi di keluarga kami, singkat saja jawabnya,  "karena kita bangsawan." Jawaban yang tak aku suka.

Perkawinan Makcik Bedah dengan Pakcik Hasan jauh dari kata senang. Meski tak lugas ia berkisah -- orang Melayu suka berkias -- aku tahu Makcik tersiksa. Di mata Pakcik Hasan seorang istri ibarat pelayan yang mesti siap memenuhi keperluan suami. Bila perlu selama dua puluh empat jam. Mengabdi kepada suami adalah jalan paling mulia bagi seorang istri. Kunci pintu surga seorang istri ada di tangan suami. Itu senjata Pakcik yang membuat Makcik tak berdaya.

Meskipun demikian, rumah tangga Makcik Bedah tidaklah sepenuhnya boleh dibilang petaka. Dari pernikahan mereka, lahir sepasang kembar perempuan yang menyenangkan hati. Ainun dan Aini kini telah menjadi dara yang berprestasi. Berkali-kali mereka memenangkan kejuaraan anggar hingga tingkat provinsi. Sering mereka berjumpa di final, dan bergantian saling mengalahkan.

Begitulah hidup, kurasa. Ia kerap kali lucu. Dari sepasang suami istri yang saling mencintai, tak selalu didapat keturunan yang membuat bahagia. Sebaliknya, dari suatu kawin paksa malah terlahir keturunan yang luar biasa.

Kisah Ayah dan Emak sungguh berbeda. Sejauh yang dapat kuraba, mereka bahagia. Mereka akhirnya saling jatuh cinta setelah berkeluarga. Mungkin ini pula sebab Ayah begitu mempercayai perjodohan. Apa yang terjadi pada adik perempuannya, Makcik Bedah, hanyalah satu kebetulan yang jarang.

Kegeruhan Makcik Bedah bertambah beberapa tahun lalu. Ia terkena kanker yang membuat rahimnya terpaksa diangkat. Walau rapat ia simpan, kami tahu jiwa raganya remuk redam. Terlebih, tak lama sesudah itu, Pakcik Hasan kawin lagi demi mendapatkan anak lelaki.

Begitulah hidup, kurasa. Tak dapat diterka peruntungannya oleh siapa pun. Ayah dan Makcik terlahir dari rahim yang sama, besar dalam lingkungan yang kurang lebih sama, mendapatkan pasangan dengan cara yang sama, tetapi sungguh berbeda nasib mereka.

Hidup Makcik yang perih, cerita-cerita yang dikisahkannya dahulu, ucapan dan nasihatnya, menjadi pelajaran yang amat berharga bagiku. Bahkan boleh jadi, ia pelajaran yang paling berharga. Semangatku yang menggebu untuk menemukan obat kanker rahim adalah karena Makcik. Sikapku yang menahan diri terhadap Jihan malam ini adalah karena aku teringat Makcik.

"Bahagiakan perempuanmu, Abang," ucapnya dahulu.

Sekarang, bagaimana aku dapat membahagiakan seorang perempuan yang dipaksa menikah denganku? Ia boleh jadi menganggapku serupa seorang penjahat yang telah merenggutnya dari suatu romansa yang indah. Kudengar ia telah punya kekasih sebelum menikah denganku. Ia boleh jadi tengah menyimpan kemarahan yang pekat kepadaku karena telah membuat buram masa depannya. Ia tak perlu cemas soal harta. Aku cukup kaya. Bukan cuma karena keluargaku kaya, melainkan sebagai peneliti muda ternama aku punya banyak sumber pendapatan. Beberapa perusahaan farmasi memakai jasaku sebagai konsultan. Tetapi boleh jadi ia seperti Puteri Gunung Ledang yang tak menginginkan sang raja yang berlimpah harta.

Aku berdeham sekali lagi. Tetapi kali ini kulanjutkan dengan memanggilnya. "Dinda, Jihan." Serak suaraku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun