Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sang Teladan Pendidikan

19 Juli 2020   21:11 Diperbarui: 19 Juli 2020   21:09 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teladanku dalam hal pendidikan adalah almarhum Bapak. Beliau cerdas. Lompat dari kelas 3 SD langsung ke kelas 5 SD. Tetapi nasib baik tak menyertai. Beliau tak sempat lulus SMP karena gabungan beberapa sebab, di antaranya kesulitan ekonomi. Tanpa ijasah SMP Bapak merantau dari satu kota ke kota lain di Sumatera mencari rezeki untuk sekadar bertahan hidup.

Dalam usia 25 tahun akhirnya Bapak memutuskan ke Bintan untuk mengadu nasib. Di sana ada abang beliau, alias amangtua atau pakde saya. Selama beberapa waktu, sebelum akhirnya mandiri, Beliau tinggal di rumah sang Abang. Berbagai pekerjaan, seperti mengangkut air dan memeriksa karcis bioskop, Bapak lakukan. Pada waktu luang Bapak sempatkan untuk kursus Bon A dan Bon B hitung dagang alias akuntansi). Beliau juga ikut ujian untuk mendapatkan ijasah SMP.

Berbekal ijasah SMP dan Bon A/B Bapak lalu diterima di perusahaan tambang Bauksit di Kijang, Bintan Timur. Pada masa itu Bon A/B sangat berharga, sehingga tak perlu waktu lama bagi Bapak untuk mencapai posisi staf. Setahun kemudian Bapak pulang kampung ke Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan untuk mencari istri. Mambuat Boru, istilahnya. Ada lika-liku yang sangat menarik dalam proses ini. In sya Allah akan saya ceritakan terpisah. Singkatnya, Bapak dan Mamak saya kawin lari, tapi dengan restu orang tua. Sesuatu yang biasa terjadi di adat Tapanuli Selatan.

Sebelas tahun menikah, Bapak dan Mamak diberi Allah enam orang anak. Kalau saya tak salah ingat, semasa punya anak ke lima Bapak melanjutkan sekolah di sebuah SMEA di Tanjung Pinang, sekitar 30 km dari Kijang. Setiap sore, sepulang kerja, Bapak berangkat ke Tanjung Pinang untuk bersekolah. Lulus.

Walau menjadi staf di perusahaan tambang bauksit, Bapak tak punya uang banyak. Kebutuhan konsumsi seperti beras, lauk pauk, minyak tanah, dan lain-lain dipenuhi oleh perusahaan. Bapak dan Mamak perlu sangat berhemat agar ada uang untuk membeli tambahan buku bacaan untuk anak-anak mereka. Ketika kadang-kadang Bapak pulang dari Tanjung Pinang membawa buku baru, gembira betul perasaan kami. Dalam keterbatasan keuangan seperti itu terlihat jelas komitmen Bapak untuk pendidikan anak-anaknya.

Komitmen yang kemudian membuat Bapak berani mengambil langkah besar. Karena prestasi kerja, Bapak mendapatkan promosi jabatan. Akan tetapi, Bapak malah mengajukan permintaan untuk dikirim tugas belajar di Bandung atau Jogjakarta. Dua kota yang Bapak anggap merupakan pusat pendidikan terbaik di Jawa. Pikiran Bapak ketika itu, kalau dikirim tugas belajar ke Jawa maka terbuka lebar kesempatan untuk memboyong keenam anaknya guna mendapatkan pendidikan di Jawa. Kalau tak begitu, paling-paling Bapak hanya sanggup mengirimkan satu anaknya ke perguruan tinggi. Itupun ke Padang atau Pekanbaru.

Permohonan Bapak disetujui. Pada usianya yang sudah 41 tahun Bapak dikirim tugas belajar ke Jogjakarta. Satu keluarga diboyong ke Jogjakarta, kecuali saya. Saya ditinggal di Kijang selama setahun untuk menyelesaikan SMP terlebih dahulu. Satu tahap, yaitu memindahkan semua anak ke Jawa, selesai sudah. Tinggal mempersiapkan tahap berikutnya: mendapatkan cukup uang agar ketika selesai tugas belajar anak-anak tetap dapat tinggal di Jogja dan meneruskan pendidikan.

Bapak dan Mamak mulai mengusahakan macam-macam jalan: membuka warung, bikin kue untuk dijual, beternak puyuh, dan lain-lain. Mamak lalu memutuskan untuk lebih aktif berdagang antar pulau: Bintan-Batam-Jogja. Serupiah demi serupiah dikumpulkan sehingga akhirnya dapat untuk membeli tanah di pinggiran Jogja, masuk kabupaten Bantul. Bapak dan Mamak berpikir, sebuah rumah akan lebih hemat bagi enam orang anak, daripada semua harus kos nantinya. Serupiah demi serupiah lagi dikumpulkan untuk membangun rumah, bata demi bata.

Rasanya, seperti sebuah keajaiban. Dalam masa tugas belajar empat tahun Bapak dan Mamak berhasil membeli tanah dan membangun rumah sederhana. Tanpa serupiah pun pinjaman dari Bank. Akan tetapi, sungguh masa-masa yang sangat tidak mudah. Saya tak pernah berganti seragam selama SMA. Mamak selalu bersungut-sungut setiap kali saya minta uang untuk fotokopi. Itu tanda keadaan ekonomi keluarga kami benar-benar sulit. Ada bahan fotokopian yang akhirnya saya ketik. Positifnya, saya jadi memiliki kecakapan mengetik dengan relatif cepat. Tak ada uang jajan, kecuali pada hari ada pelajaran olah raga. Sepulang sekolah saya jaga warung.

Bapak mengatakan bahwa akan sangat sulit baginya untuk menguliahkan saya di perguruan tinggi swasta. Maka, Bapak dan Mamak senang bukan kepalang ketika saya mencapai prestasi akademik yang baik di semester dua SMA. Mereka yakin saya punya modal untuk masuk UGM. Keyakinan yang hancur lebur di semester berikutnya. Nilai rapor saya anjlok 10 poin. Saya kembali tersungkur di dasar kelas. Sama seperti pada semester satu saat saya masih beradaptasi dengan Jogjakarta. Bapak murka. Benar-benar murka. Ketika itu, saat saya kelas dua SMA, saya semakin larut dalam dunia sastra yang sudah mulai saya cintai sejak SMP. Saya banyak menghabiskan waktu untuk menulis puisi dan ikut kegiatan sastra serta lontang-lantung di Malioboro.

Masih saya ingat ucapan Bapak kala itu: "Kau, kau kalau tak masuk UGM, tak kuliah kau." Murka Bapak melecut saya. Saya kala itu, entah sekarang, tak suka bila diremehkan. Saya tekad kuat dalam hati: "Akan kubuktikan. Aku akan masuk UGM." Nilai akademik saya konsisten membaik sejak semester empat. Pada nilai Ebtanas murni di ujung semester enam, posisi saya nomor dua di bawah sang juara kelas abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun