Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara-suara pada Tengah Malam dari Pekarangan Belakang

13 Januari 2019   11:17 Diperbarui: 13 Januari 2019   11:20 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidaklah mengapa jika ia dibangunkan oleh sang istri misalkan untuk diambilkan air minum, dituntun ke kamar mandi, atau bahkan sekadar minta diusap rambut atau dikecup kening. Akan dengan sangat senang hati ia laksanakan. 

Biarlah ia terkantuk-kantuk di kantor karena kurang tidur. Tapi, ini untuk memeriksa suara-suara yang sama dan selalu terbukti tak pernah ada!

Sekali dua ia merasa dipermainkan. Cepat-cepat digilasnya perasaan itu, sebab tak mungkin. Bukanlah tabiat Aini merepotkan orang, apatah lagi mempermainkan. Ia adalah perempuan yang punya banyak alasan untuk dicintai. Parasnya, tatapannya, senyumnya, tutur katanya, candanya, sikapnya. 

Beruntung nian lelaki yang berjodoh dengannya.  Maka bodoh nian Hanafi jika mengotori nasib untungnya itu dengan tak mempercayai Aini, sekalipun suara gerit pintu dan langkah kaki itu tak pernah ditemukan sumbernya.

Atau sakitnyakah itu yang membuat Aini berhalusinasi sehingga seperti mendengar suara-suara? Hanafi merasa bersalah. Pintu itu sudah lama diusulkan Aini agar ditembok saja. Ia merasa tak nyaman dan aman ada pintu yang menghubungkan rumah mereka dengan lahan kosong di belakang kompleks pemukiman. 

Hanafi menolak. Lahan kosong itu sumber inspirasinya. Sering ia mendapatkan ilham di sana, baik untuk pekerjaan maupun untuk tulisan-tulisannya.  Baginya tak cukup alasan untuk merasa tak nyaman. Lahan yang kabarnya milik seorang purnawirawan itu tidaklah liar. Secara berkala ada orang yang membersihkan, sehingga ilalang tak sempat meninggi. 

Beberapa pokok besar tumbuh di sana menghadirkan oksigen dan kesejukan. Selain itu, ada pula beberapa tanaman hutan penghasil buah yang dulu dijumpainya di masa kecil.

Tak jarang ia mengajak Aini berjalan-jalan di lahan kosong itu, duduk berdua di salah satu pokok besar, menikmati pagi yang menghangat atau sore yang meredup, bercakap-cakap tentang apa saja. 

Tapi sejak divonis kanker, jika sedang merasa kuat, Aini lebih suka melewatkan waktu untuk merawat tanaman baik di pekarangan belakang maupun depan. Ia tahu, Hanafi tak cukup sabar merawat tanaman-tanaman itu.

"Apa kutembok saja pintu itu?", pikir Hanafi. Suatu hari dipanggilnya tukang untuk membongkar pintu di pekarangan belakang, lalu menemboknya.  Aini tak berkata-kata. Senyum saja. Bukan senyum tanda setuju, melainkan tanda kerelaan. 

Begitulah Aini. Ia selalu bilang "apa yang baik menurut abang", pada setiap keputusan yang diambil Hanafi. Satu-satunya saat ia bersikeras adalah ketika menolak rencana Hanafi cuti kerja untuk merawatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun