Mohon tunggu...
Bangkit Adi Saputra
Bangkit Adi Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis/Novelis/Pengamat Timur Tengah

Saya adalah seorang Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Interdisiplinary Islamic Studies Konsentrasi Kajian Timur Tengah. Saya berasal dari kota Reog, Ponorogo, Jawa Timur. Saya hobi menulis, baik itu tulisan ilmiah non-fiksi seperti; artikel ilmiah, riset ilmiah dan buku ilmiah maupun tulisan fiksi seperti; Cerpen, Puisi, dan juga Novel. Saya berusaha menuliskan semua keresahan saya dengan tulisan-tulisan opini di blog dan website.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Manusia Hewan, Menggenggam Kekuasaan: Putusan Kontroversial MK dan Percaturan Politik Indonesia

4 Januari 2025   15:47 Diperbarui: 4 Januari 2025   15:47 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4n60z000ngo

Konsep Manusia Hewan menjadi penggambaran yang relevan, untuk memahami bagaimana kekuasan digenggam dan dipertahankan oleh rezim Republik ini. Dengan menghalalkan segala cara, elit politik merubah tatanan perundang-undangan yang sudah ada. Apapun itu akan dilakukan, demi kepentingan pribadi dan kolega.

Kontradiksi inheren antara sifat manusia sebagai makhluk yang berakal dan hewan yang instingtif menjadi menarik untuk dibahas. Dalam benak saya muncul pertanyaan, bagaimana manusia mampu menjadi manusia seutuhnya (Insan Kamil)? bagaimana bisa pendidikan tinggi dan pemahaman ilmu pengetahuan yang begitu banyak, tertutup oleh insting hewani yang rakus dan tamak?.

Ki Suryomentaram, seorang filsuf dan psikolog Jawa, memiliki pandangan yang mendalam tentang konsep Manusia Seutuhnya (Insan Kamil) dan Manusia Hewan (Insan Khayawan), yang berakar pada pengalaman spiritual dan refleksi filosofisnya.

Dalam pandangan beliau, Manusia Seutuhnya (Insan Kamil) adalah manusia yang mampu memahami dan mengendalikan rasa atau raos. Dalam pemikiran Jawa, rasa tidak hanya merujuk pada perasaan, tetapi juga mencakup kesadaran dan pemahaman yang lebih dalam mengenai diri sendiri dan dunia (Sholeha and Yazid 2023).

Manusia Seutuhnya adalah mereka yang mampu mengenali dan mengelola perasaan, pikiran, dan keinginannya, sehingga tidak terjebak dalam dorongan nafsu atau keinginan yang tidak terkendali. Mereka juga sadar akan hubungan mereka dengan alam semesta dan makhluk lain, serta berusaha hidup dalam harmoni dengan prinsip-prinsip universal.

Sebaliknya, Manusia Hewan (Insan Khayawan) dalam pandangan Ki Suryomentaram adalah manusia yang dikuasai oleh naluri dasar atau insting hewani, seperti dorongan untuk bertahan hidup, berkuasa, dan memenuhi kebutuhan jasmani tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika. Manusia hewan tidak mampu mengendalikan rasa mereka, mereka hidup berdasarkan dorongan-dorongan yang tidak terkontrol, dan cenderung egois serta destruktif (Kholik and Himam 2015).

Di sisi lain, Raden Mas Sosrokartono melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus-menerus mencari keseimbangan antara aspek lahir (fisik) dan batin (spiritual), dimana pemenuhan jasmani harus selalu dikaitkan dengan kepekaan terhadap nilai-nilai spiritual. RM Sosrokartono menekankan bahwa keseimbangan antara lahir dan batin adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang harmonis. Ketidakseimbangan di antara keduanya dapat menyebabkan penderitaan dan ketidakbahagiaan (Muniri 2023).

Menurut RM Sosrokartono, manusia harus mampu menjalani kehidupan duniawi sambil tetap terhubung dengan nilai-nilai spiritual. Ini berarti mampu bekerja dan beraktivitas di dunia nyata, tetapi dengan kesadaran batin yang tinggi, sehingga tindakan yang dilakukan selalu berlandaskan moral dan kebijaksanaan. Keseimbangan ini menciptakan harmoni dalam diri manusia dan juga dalam hubungannya dengan orang lain serta alam semesta (Muniri 2023).

Konsep Manusia Hewan (Insan Khayawan) tergambar jelas dalam kasus putusan kontroversi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memunculkan presepsi negatif dari berbagai lapisan masyarakat. MK secara tiba-tiba melakukan perubahan konstitusi mengenai (Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah) dan (Batas Usia Minimum Calon Kepala Daerah).

Dalam putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah bagi partai politik atau gabungan partai politik tidak lagi didasarkan pada perolehan kursi di DPRD, melainkan hanya pada perolehan suara sah di daerah yang bersangkutan. Ini berarti, partai-partai kecil atau partai tanpa kursi di DPRD memiliki peluang lebih besar untuk mengusung calon dalam Pilkada.

Dan dalam Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa batas usia minimum untuk calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan pada saat pelantikan seperti yang sebelumnya diatur. Hal ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA), yang menetapkan bahwa usia minimum harus dihitung pada saat pelantikan.

Kontroversi itu kemudian semakin terlihat, ketika DPR lebih memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) dalam revisi Undang-Undang Pilkada terkait batas usia minimum, yang bertentangan dengan putusan MK. Keputusan ini menimbulkan perdebatan tentang otoritas MK dan dampaknya terhadap proses pemilihan kepala daerah.

Putusan MK yang kontroversial itu, bisa dilihat sebagai cerminan dari pergolakan hebat antara dua sifat dasar manusia. Di satu sisi, ada pihak yang berusaha mengendalikan kekuasaan dengan segala cara. Bertindak sebagaimana hewan yang rakus dan dikuasai insting untuk menguasai segalanya, dengan melonggarkan peraturan yang ada.

Di sisi lain, masih ada sedikit diantara mereka yang berusaha menegakkan nilai-nilai keadilan dan etika dalam berpolitik. Mereka mencoba menjaga sisi kemanusiaan nya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan etika. Mereka menyadari betul dampak dari idealisme yang berusaha mereka pertahankan. Dimana idealisme itu bagaikan pedang bermata dua. Jika tak berhati-hati, idealisme itu siap memenggal kepala mereka. Maksudnya, idealisme itu siap menghancurkan karir politik mereka kapan saja.

Kekacauan yang terjadi dalam percaturan politik Indonesia saat ini, merupakan sebuah refleksi dari kegagalan kita sebagai manusia, yang belum mampu menyelaraskan keseimbangan lahir (fisik) dan batin (spiritual). Kita masih didominasi naluri hewan yang rakus dan tamak, sehingga mengalahkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang sejati. Kita seringkali terjebak dalam pusara kerakusan dan ketamakan dalam memperoleh segala sesuatu yang di inginkan.

MK yang seharusnya menjadi penyeimbang dan penjaga konstitusi negara, justru sering kali terjebak dalam permainan kekuasaan yang tidak etis dan menggerogoti sistem demokrasi negeri ini. Kontradiksi ini terlihat jelas, dari cara para elit politik memanipulasi hukum untuk kepentingan pribadi dan koleganya. Mereka mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Perilaku semacam ini, bukan hanya mencerminkan sisi hewani manusia (Insan Khayawan), tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap konsep Manusia Seutuhnya (Insan Kamil). seperti yang diajarkan oleh Ki Suryomentaram dan Raden Mas Sosrokartono.

Ketika etika politik dikesampingkan, kita melihat bagaimana kekuasaan dipegang tanpa memperhatikan akibatnya pada masyarakat luas. Manusia yang seharusnya mengendalikan insting hewani untuk berkuasa, justru membiarkan dirinya dikuasai oleh naluri tersebut. Hal ini, kemudian mengakibatkan politik yang penuh dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Pada akhirnya, untuk mengatasi carut-marut politik di Indonesia, kita perlu kembali kepada pemahaman mendalam tentang apa artinya menjadi manusia seutuhnya (Insan Kamil). Kita harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan untuk bertahan dan berkuasa dengan kesadaran moral dan etika yang lebih tinggi. Tanpa ini, kita akan terus terperangkap dalam siklus kekuasaan yang merusak, dan tidak akan pernah mencapai cita-cita kemakmuran bersama.

Dengan demikian, memahami manusia sebagai entitas yang memiliki potensi untuk menjadi Manusia Hewan (Insan Khayawan) atau Manusia Seutuhnya (Insan Kamil) dalam konteks kekuasaan adalah pondasi utama untuk membangun tatanan politik yang lebih adil dan bermartabat di Indonesia. Dengan memahami konsep dua sisi manusia ini, kita dapat mengarahkan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Referensi:

Kholik, Abdul, and Fathul Himam. 2015. “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram.” Gadjah Mada Journal of Psychology 1 (2): 120–34. https://media.neliti.com/media/publications/196612-ID-konsep-psikoterapi-kawruh-jiwa-ki-ageng.pdf.

Sholeha, Ganis, and Rizky Yazid. 2023. “Konsep Rasa Pada Manusia Perspektif Ki Ageng Suryomentaram.” Jurnal Kalam Dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta 5 (1): 1–21. https://doi.org/10.15408/paradigma.v5i1.34508.

Muniri, Muniri. 2023. “Menelaah Pemikiran Sosrokartono Tentang Ajaran Moral.” Javano-Islamicus 1 (1): 30–39. https://doi.org/10.15642/Javano.2023.1.1.29-39.

https://www.antaranews.com/berita/4276411/pemerintah-hormati-putusan-mk-terkait-syarat-calon-kepala-daerah

https://www.antaranews.com/berita/4277143/presiden-hormati-putusan-mk-dan-dpr-soal-syarat-calon-kepala-daerah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun