Mohon tunggu...
Bangkit Adi Saputra
Bangkit Adi Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis/Novelis/Pengamat Timur Tengah

Saya adalah seorang Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Interdisiplinary Islamic Studies Konsentrasi Kajian Timur Tengah. Saya berasal dari kota Reog, Ponorogo, Jawa Timur. Saya hobi menulis, baik itu tulisan ilmiah non-fiksi seperti; artikel ilmiah, riset ilmiah dan buku ilmiah maupun tulisan fiksi seperti; Cerpen, Puisi, dan juga Novel. Saya berusaha menuliskan semua keresahan saya dengan tulisan-tulisan opini di blog dan website.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Manusia Hewan, Menggenggam Kekuasaan: Putusan Kontroversial MK dan Percaturan Politik Indonesia

4 Januari 2025   15:47 Diperbarui: 4 Januari 2025   15:47 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4n60z000ngo

Dan dalam Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa batas usia minimum untuk calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan pada saat pelantikan seperti yang sebelumnya diatur. Hal ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA), yang menetapkan bahwa usia minimum harus dihitung pada saat pelantikan.

Kontroversi itu kemudian semakin terlihat, ketika DPR lebih memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) dalam revisi Undang-Undang Pilkada terkait batas usia minimum, yang bertentangan dengan putusan MK. Keputusan ini menimbulkan perdebatan tentang otoritas MK dan dampaknya terhadap proses pemilihan kepala daerah.

Putusan MK yang kontroversial itu, bisa dilihat sebagai cerminan dari pergolakan hebat antara dua sifat dasar manusia. Di satu sisi, ada pihak yang berusaha mengendalikan kekuasaan dengan segala cara. Bertindak sebagaimana hewan yang rakus dan dikuasai insting untuk menguasai segalanya, dengan melonggarkan peraturan yang ada.

Di sisi lain, masih ada sedikit diantara mereka yang berusaha menegakkan nilai-nilai keadilan dan etika dalam berpolitik. Mereka mencoba menjaga sisi kemanusiaan nya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan etika. Mereka menyadari betul dampak dari idealisme yang berusaha mereka pertahankan. Dimana idealisme itu bagaikan pedang bermata dua. Jika tak berhati-hati, idealisme itu siap memenggal kepala mereka. Maksudnya, idealisme itu siap menghancurkan karir politik mereka kapan saja.

Kekacauan yang terjadi dalam percaturan politik Indonesia saat ini, merupakan sebuah refleksi dari kegagalan kita sebagai manusia, yang belum mampu menyelaraskan keseimbangan lahir (fisik) dan batin (spiritual). Kita masih didominasi naluri hewan yang rakus dan tamak, sehingga mengalahkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang sejati. Kita seringkali terjebak dalam pusara kerakusan dan ketamakan dalam memperoleh segala sesuatu yang di inginkan.

MK yang seharusnya menjadi penyeimbang dan penjaga konstitusi negara, justru sering kali terjebak dalam permainan kekuasaan yang tidak etis dan menggerogoti sistem demokrasi negeri ini. Kontradiksi ini terlihat jelas, dari cara para elit politik memanipulasi hukum untuk kepentingan pribadi dan koleganya. Mereka mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Perilaku semacam ini, bukan hanya mencerminkan sisi hewani manusia (Insan Khayawan), tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap konsep Manusia Seutuhnya (Insan Kamil). seperti yang diajarkan oleh Ki Suryomentaram dan Raden Mas Sosrokartono.

Ketika etika politik dikesampingkan, kita melihat bagaimana kekuasaan dipegang tanpa memperhatikan akibatnya pada masyarakat luas. Manusia yang seharusnya mengendalikan insting hewani untuk berkuasa, justru membiarkan dirinya dikuasai oleh naluri tersebut. Hal ini, kemudian mengakibatkan politik yang penuh dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Pada akhirnya, untuk mengatasi carut-marut politik di Indonesia, kita perlu kembali kepada pemahaman mendalam tentang apa artinya menjadi manusia seutuhnya (Insan Kamil). Kita harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan untuk bertahan dan berkuasa dengan kesadaran moral dan etika yang lebih tinggi. Tanpa ini, kita akan terus terperangkap dalam siklus kekuasaan yang merusak, dan tidak akan pernah mencapai cita-cita kemakmuran bersama.

Dengan demikian, memahami manusia sebagai entitas yang memiliki potensi untuk menjadi Manusia Hewan (Insan Khayawan) atau Manusia Seutuhnya (Insan Kamil) dalam konteks kekuasaan adalah pondasi utama untuk membangun tatanan politik yang lebih adil dan bermartabat di Indonesia. Dengan memahami konsep dua sisi manusia ini, kita dapat mengarahkan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun