Mohon tunggu...
Helmi Abu Bakar elLangkawi
Helmi Abu Bakar elLangkawi Mohon Tunggu... Penulis - Pengiat Sosial Kegamaan dan Esais di berbagai Media serta Pendidik di Lembaga Pendidikan Islam

Khairunnas Affa' linnas

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Rekonstruksi Rekognisi Akademik Dayah di Era Digital

1 Januari 2025   16:42 Diperbarui: 1 Januari 2025   16:42 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AlMursyid Abu MUDI dan Ulama Lainnya di Haul Abon Aziz Samalanga (Dokpri)

Pesantren, yang dikenal sebagai dayah di Aceh, telah menjadi institusi pendidikan Islam yang mewariskan tradisi intelektual selama berabad-abad. Dalam perjalanan sejarahnya, pesantren tidak hanya menjadi pusat pembelajaran agama, tetapi juga episentrum peradaban dan pembentukan karakter umat. Namun, di tengah kemajuan teknologi dan digitalisasi global, tradisi akademik pesantren perlu direkonstruksi agar tetap relevan dan mampu menjawab tantangan era modern. Upaya rekonstruksi ini menuntut keterhubungan antara warisan ulama klasik, pemikiran modern, serta pendekatan filosofis dan ilmiah yang mengintegrasikan dimensi tradisional dan kontemporer.

Tradisi akademik dayah atau ponpes berakar kuat pada epistemologi Islam yang dikembangkan oleh ulama klasik seperti Imam al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Imam al-Shatibi. Imam al-Ghazali, dalam karya monumental Tahafut al-Falasifah, menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan harus dijaga dari pengaruh yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid. Beliau memurnikan filsafat Yunani dengan pendekatan teologis, membuktikan bahwa pengetahuan harus memiliki kesesuaian dengan keyakinan dasar Islam. Pendekatan ini relevan bagi pesantren era digital, terutama dalam menghadapi pengaruh teknologi dan informasi yang berpotensi menggeser nilai-nilai keislaman.

Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, menyoroti pentingnya memahami peradaban sebagai fenomena yang dinamis. Ilmu pengetahuan, menurut Ibn Khaldun, adalah salah satu pilar yang menopang kemajuan suatu masyarakat. Dalam konteks pesantren, pandangan Ibn Khaldun dapat diterapkan dengan mendorong pesantren untuk tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu sosial, politik, dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Imam al-Shatibi, melalui konsep maqasid al-shariah (tujuan syariah), menekankan bahwa setiap aspek kehidupan, termasuk pendidikan, harus diarahkan untuk mencapai kemaslahatan umat. Pesantren dengan tradisi fiqh yang kaya dapat memanfaatkan pendekatan ini untuk merespons isu-isu kontemporer seperti etika digital, tata ruang berbasis lingkungan, dan keadilan sosial.

Kontribusi Pemikiran Modern terhadap Rekonstruksi Tradisi Akademik Pesantren

Pemikiran modern membawa pendekatan yang lebih terbuka dan kontekstual terhadap pendidikan. Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan modern, menekankan pentingnya education as the practice of freedom. Freire mengajak institusi pendidikan untuk tidak hanya menyampaikan pengetahuan tetapi juga membebaskan individu melalui proses dialogis dan kritis. Dalam konteks pesantren, pemikiran ini dapat diadaptasi dengan membuka ruang diskusi yang melibatkan ilmu modern tanpa meninggalkan akar tradisional.

Jacques Derrida, seorang filsuf modern, memperkenalkan konsep dekonstruksi sebagai metode membaca ulang tradisi untuk menemukan makna baru dalam konteks yang berubah. Dekonstruksi tidak berarti menghancurkan tradisi, tetapi memahaminya secara mendalam untuk menyesuaikan dengan realitas kontemporer. Pesantren dapat memanfaatkan pendekatan ini untuk menginterpretasikan kembali teks klasik, seperti kitab kuning, dengan mempertimbangkan tantangan modern seperti digitalisasi, globalisasi, dan perubahan sosial.

Pemikir Islam modern seperti Fazlur Rahman juga menawarkan pendekatan hermeneutik terhadap Al-Qur'an dan Hadis. Beliau menekankan pentingnya memahami teks agama dalam konteks sejarah sekaligus menafsirkan maknanya untuk masa kini. Pesantren dapat menggunakan pendekatan ini untuk mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan ilmu pengetahuan modern.

Relevansi Tradisi Akademik Pesantren di Era Digital

Era digital menghadirkan tantangan baru yang menuntut pesantren untuk merekonstruksi tradisi akademiknya. Tradisi pendidikan pesantren yang berbasis pada turats (literatur klasik) memiliki landasan epistemologis yang kuat, namun perlu dilengkapi dengan kemampuan adaptasi terhadap perkembangan teknologi.

Pada dimensi filosofis, ilmu ushuluddin dan ushul fiqh menjadi landasan utama tradisi akademik pesantren. Ushuluddin berfungsi sebagai alat timbang teologis untuk memahami dan meluruskan pandangan yang keliru, seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali terhadap filsafat Yunani. Dalam konteks era digital, ushuluddin dapat menjadi dasar untuk menilai dampak teknologi terhadap nilai-nilai agama dan sosial.

Pada dimensi metodologis, ilmu alat seperti nahwu, sharaf, dan mantiq memberikan kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Tradisi ini sangat relevan di era informasi di mana kemampuan berpikir kritis dan analitis menjadi kebutuhan utama. Pesantren dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat pengajaran ilmu alat, misalnya dengan menggunakan aplikasi digital untuk mempelajari tata bahasa Arab atau logika mantiq.

Pada dimensi praktis, ilmu fiqh, akhlak, dan tauhid menawarkan solusi konkret untuk masalah-masalah kontemporer. Sebagai contoh, fiqh siyasah dapat dikontekstualisasikan untuk merumuskan tata kelola pemerintahan yang berbasis pada nilai-nilai keislaman. Fiqh lingkungan, yang telah dikaji oleh Lajnah Bahtsul Masail MUDI Mesjid Raya Samalanga, menunjukkan bagaimana tradisi akademik pesantren dapat berkontribusi terhadap isu global seperti perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.

Rekonstruksi tradisi akademik pesantren memerlukan perubahan kurikulum yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern. Pesantren dapat mengadopsi pendekatan integratif seperti yang diusulkan oleh Azyumardi Azra, yaitu menghubungkan antara ilmu-ilmu naqliyah (tekstual) dan aqliyah (rasional). Dalam era digital, pendekatan ini dapat diwujudkan melalui pengembangan kurikulum yang mencakup literasi digital, etika teknologi, dan penguasaan ilmu terapan seperti sains dan matematika.

Selain itu, pesantren perlu membangun infrastruktur digital untuk mendukung proses pembelajaran. Penggunaan platform online, aplikasi e-learning, dan database digital untuk kitab kuning dapat memperkaya pengalaman belajar santri. Namun, adopsi teknologi ini harus tetap berlandaskan pada nilai-nilai keislaman, sebagaimana yang ditekankan oleh ulama klasik dan modern.

Salah satu tantangan utama dalam rekonstruksi tradisi akademik pesantren adalah menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi. Seperti yang diungkapkan oleh Alasdair MacIntyre, tradisi harus dipahami sebagai kerangka yang hidup dan mampu berkembang tanpa kehilangan identitasnya. Dalam konteks pesantren, ini berarti bahwa inovasi kurikulum dan metode pembelajaran harus tetap berakar pada nilai-nilai yang diwariskan oleh ulama klasik.

Di sisi lain, era digital juga menghadirkan peluang besar bagi pesantren untuk memperluas pengaruhnya. Dengan memanfaatkan teknologi, pesantren dapat menjadi pusat kajian multidisipliner yang tidak hanya relevan di tingkat lokal tetapi juga global. Pesantren dapat mengembangkan program studi yang membahas isu-isu kontemporer seperti etika teknologi, ekonomi syariah, dan keadilan sosial.

Rekonstruksi tradisi akademik dayah atau pesantren di era digital merupakan sebuah keniscayaan yang membutuhkan keseimbangan antara warisan klasik dan pemikiran modern. Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Imam al-Shatibi memberikan landasan yang kokoh untuk memahami pentingnya nilai-nilai agama dalam pendidikan. Di sisi lain, pemikiran modern seperti yang diajukan oleh Paulo Freire, Jacques Derrida, dan Fazlur Rahman menawarkan pendekatan yang lebih kontekstual untuk menjawab tantangan zaman.

Beranjak dari uraian di atas, tentunya dengan mengintegrasikan kedua pendekatan ini, pesantren dapat menjadi institusi pendidikan yang relevan dan berdaya saing di era digital. Rekognisi formal terhadap pesantren melalui UU Nomor 18 Tahun 2019 harus diikuti dengan upaya substantif untuk memberdayakan tradisi akademik yang dimilikinya. Dengan demikian, dayah dapat terus berkontribusi dalam membangun peradaban yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Lantas mampukah mengimplementasikannya? 

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

RSU Tgk Chik Ditiro, Pidie, 1 Januari 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun