Mohon tunggu...
Helmi Abu Bakar elLangkawi
Helmi Abu Bakar elLangkawi Mohon Tunggu... Penulis - Pengiat Sosial Kegamaan dan Esais di berbagai Media serta Pendidik di Lembaga Pendidikan Islam

Khairunnas Affa' linnas

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Rekonstruksi Rekognisi Akademik Dayah di Era Digital

1 Januari 2025   16:42 Diperbarui: 1 Januari 2025   16:42 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AlMursyid Abu MUDI dan Ulama Lainnya di Haul Abon Aziz Samalanga (Dokpri)

Pada dimensi filosofis, ilmu ushuluddin dan ushul fiqh menjadi landasan utama tradisi akademik pesantren. Ushuluddin berfungsi sebagai alat timbang teologis untuk memahami dan meluruskan pandangan yang keliru, seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali terhadap filsafat Yunani. Dalam konteks era digital, ushuluddin dapat menjadi dasar untuk menilai dampak teknologi terhadap nilai-nilai agama dan sosial.

Pada dimensi metodologis, ilmu alat seperti nahwu, sharaf, dan mantiq memberikan kerangka berpikir yang logis dan sistematis. Tradisi ini sangat relevan di era informasi di mana kemampuan berpikir kritis dan analitis menjadi kebutuhan utama. Pesantren dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat pengajaran ilmu alat, misalnya dengan menggunakan aplikasi digital untuk mempelajari tata bahasa Arab atau logika mantiq.

Pada dimensi praktis, ilmu fiqh, akhlak, dan tauhid menawarkan solusi konkret untuk masalah-masalah kontemporer. Sebagai contoh, fiqh siyasah dapat dikontekstualisasikan untuk merumuskan tata kelola pemerintahan yang berbasis pada nilai-nilai keislaman. Fiqh lingkungan, yang telah dikaji oleh Lajnah Bahtsul Masail MUDI Mesjid Raya Samalanga, menunjukkan bagaimana tradisi akademik pesantren dapat berkontribusi terhadap isu global seperti perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.

Rekonstruksi tradisi akademik pesantren memerlukan perubahan kurikulum yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern. Pesantren dapat mengadopsi pendekatan integratif seperti yang diusulkan oleh Azyumardi Azra, yaitu menghubungkan antara ilmu-ilmu naqliyah (tekstual) dan aqliyah (rasional). Dalam era digital, pendekatan ini dapat diwujudkan melalui pengembangan kurikulum yang mencakup literasi digital, etika teknologi, dan penguasaan ilmu terapan seperti sains dan matematika.

Selain itu, pesantren perlu membangun infrastruktur digital untuk mendukung proses pembelajaran. Penggunaan platform online, aplikasi e-learning, dan database digital untuk kitab kuning dapat memperkaya pengalaman belajar santri. Namun, adopsi teknologi ini harus tetap berlandaskan pada nilai-nilai keislaman, sebagaimana yang ditekankan oleh ulama klasik dan modern.

Salah satu tantangan utama dalam rekonstruksi tradisi akademik pesantren adalah menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi. Seperti yang diungkapkan oleh Alasdair MacIntyre, tradisi harus dipahami sebagai kerangka yang hidup dan mampu berkembang tanpa kehilangan identitasnya. Dalam konteks pesantren, ini berarti bahwa inovasi kurikulum dan metode pembelajaran harus tetap berakar pada nilai-nilai yang diwariskan oleh ulama klasik.

Di sisi lain, era digital juga menghadirkan peluang besar bagi pesantren untuk memperluas pengaruhnya. Dengan memanfaatkan teknologi, pesantren dapat menjadi pusat kajian multidisipliner yang tidak hanya relevan di tingkat lokal tetapi juga global. Pesantren dapat mengembangkan program studi yang membahas isu-isu kontemporer seperti etika teknologi, ekonomi syariah, dan keadilan sosial.

Rekonstruksi tradisi akademik dayah atau pesantren di era digital merupakan sebuah keniscayaan yang membutuhkan keseimbangan antara warisan klasik dan pemikiran modern. Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Imam al-Shatibi memberikan landasan yang kokoh untuk memahami pentingnya nilai-nilai agama dalam pendidikan. Di sisi lain, pemikiran modern seperti yang diajukan oleh Paulo Freire, Jacques Derrida, dan Fazlur Rahman menawarkan pendekatan yang lebih kontekstual untuk menjawab tantangan zaman.

Beranjak dari uraian di atas, tentunya dengan mengintegrasikan kedua pendekatan ini, pesantren dapat menjadi institusi pendidikan yang relevan dan berdaya saing di era digital. Rekognisi formal terhadap pesantren melalui UU Nomor 18 Tahun 2019 harus diikuti dengan upaya substantif untuk memberdayakan tradisi akademik yang dimilikinya. Dengan demikian, dayah dapat terus berkontribusi dalam membangun peradaban yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Lantas mampukah mengimplementasikannya? 

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

RSU Tgk Chik Ditiro, Pidie, 1 Januari 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun