Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) ke-10 tahun 2024 di Dayah Putri Muslimat Gampong Putoh, Kecamatan Samalanga, bukan hanya meriah dan khidmat dengan zikir kebangsaan yang dihadiri 3000 santriwati dan 270 guru yang digelar di aula dayah setempat, Selasa, (22/10/2024)
Di balik momentum HSN di dayah Putri Muslimat Samalanga juga menghadirkan sebuah elemen yang unik dan berakar kuat pada tradisi lokal Aceh: kenduri raya dengan sajian bulukat kuah tuhe, makanan khas leluhur Aceh. Acara memasak bersama ini tidak hanya menghadirkan kelezatan kuliner endatu, tetapi juga menjadi refleksi nilai-nilai kebersamaan, kesabaran, serta estetika yang hidup dalam kehidupan santriwati dan dayah.
Hubungan Kuah Tuhe dan Estetika Tradisi
Secara sekilas, bulukat kuah tuhe mungkin tampak seperti sajian sederhana, namun di baliknya tersembunyi estetika yang mendalam, terkait dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Kuah santan kental yang dicampur dengan pisang raja, nangka masak, dan aroma wangi daun pandan adalah kombinasi yang menggambarkan kesederhanaan dan keindahan. Kelezatan yang tercipta bukan hanya berasal dari bahan-bahan alami, tetapi juga dari proses pembuatan yang mengajarkan kesabaran dan ketelatenan.
Dalam tradisi Aceh, estetika tidak hanya berkaitan dengan tampilan fisik, tetapi juga bagaimana sesuatu itu diciptakan dan dihargai. Proses pembuatan kuah tuhe, mulai dari memarut kelapa hingga memotong pisang dan nangka, semuanya dilakukan dengan tangan, tanpa bantuan teknologi modern. Hal ini menambah keindahan dari hidangan tersebut, karena setiap bagian pembuatan melibatkan tenaga dan jiwa manusia, menciptakan rasa kebersamaan yang otentik.
Dalam kehidupan santri, estetika bukan hanya tentang keindahan fisik, tetapi juga keindahan spiritual. Hubungan antara guru dan santri di dayah seringkali digambarkan sebagai hubungan rohaniah yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini tercermin dalam setiap langkah kehidupan mereka, termasuk dalam cara mereka memasak bersama. Proses pembuatan bulukat kuah tuhe pada peringatan HSN ini menjadi simbol bagaimana nilai-nilai kesabaran dan ketelatenan yang diajarkan di dayah diterapkan dalam setiap aspek kehidupan.
Tgk. Hj Atikah guru senior  yang memimpin acara memasak tersebut, menekankan bagaimana proses memasak kuah tuhe ini mencerminkan filosofi hidup santri di dayah. "Setiap langkah dalam pembuatan kuah tuhe ini mengajarkan kita untuk bekerja bersama, saling mendukung, dan menikmati prosesnya, bukan hanya hasil akhirnya," jelasnya.
Ia menjelaskan guru dibantu Santriwati, dalam satu tim besar, bergotong royong menyiapkan hidangan, mulai dari memarut kelapa hingga mengaduk santan dengan sabar. Ini bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang kehidupan komunitas yang mengedepankan kebersamaan dan ketelatenan.
Gotong Royong dalam Tradisi Dayah
Gotong royong adalah salah satu nilai fundamental yang diajarkan di dayah. Pembuatan bulukat kuah tuhe ini menjadi salah satu momen di mana nilai tersebut dihidupkan kembali. Santriwati dan guru bekerja bersama-sama, saling melengkapi dalam proses pembuatan hidangan.