Dalam sebuah diskusi bersama sejumlah laki-laki atau suami, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada mereka. Pertanyaannya seperti ini, siapa diantara bapak-bapak yang hadir di sini melakukan pekerjaan rumah? Beberapa peserta lantas menjawab, mengaku terbiasa melakukan pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, mencuci piring, setrika, memasak, mengasuh anak dan sebagainya.
Saya pun senang mendengar jawaban itu, bukan karena ada "teman" yang senasib dan seperjuangan dengan saya, tetapi istri siapa yang tidak senang melihat suaminya giat melakukan pekerjaan rumah karena beban pekerjaan rumah semakin terasa ringan. Â Â
Dalam kesempatan yang lain saat berjumpa dengan beberapa anggota komunitas perempuan, saya pernah bertanya kepada peserta, kegiatan apa yang dilakukan suami saat berada di rumah?Â
Sebagian besar dari peserta menyatakan bapak-bapak saat di rumah biasanya melakukan kegiatan bersifat hobi, misalnya memelihara burung, otomotif dan sebagainya.Â
Sementara yang lainnya ada yang menjawab membantu usaha istri, seperti membuat karak, rambak dan sebagainya. Sebagian lagi ada yang menjawab membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Â Â
Sebagain besar masyarakat kita berpendapat bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab istri atau perempuan. Bagi saya dan sebagian warga masyarakat yang lainnya pernyataan tersebut tidaklah tepat.Â
Walaupun faktanya, ada banyak masyarakat kita yang percaya bahwa pernyataan atau pendapat tersebut dianggap benar dan menjadi pembiasaan atau kebiasaan bahwa perempuanlah yang wajib hukumnya menyelesaikan segala pekerjaan rumah.
Saya sangat beruntung dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang egaliter dan menjunjung tinggi kesetaraan gender. Seingat saya, ibu dan bapak saya tidak pernah membedakan pekerjaan perempuan dan laki-laki dalam keluarga.Â
Bapak mencuci baju sendiri itu sudah biasa, bahkan seringkali baju-baju ibu yang kotor dicucikan bapak. Pemandangan ini lumrah terjadi, tidak pernah ada protes bahkan penolakan.Â
Demikian pula dalam mendidik anak-anaknya, kakak, saya dan adik sedari masa kanak-kanak sudah diperkenalkan untuk ambil bagian dalam tanggung jawab atas pekerjaan rumah.Â
Misalnya pada usia 10 tahun kami sudah mencuci baju sendiri, menyetrika baju, disuruh belanja ke pasar dengan membawa catatan apa saja yang akan dibeli, memasak, menyapu, mengepel dan sebagainya.
Kami berempat, kakak saya laki-laki, adik saya perempuan dan laki-laki mendapatkan porsi melakukan pekerjaan yang sama dan tidak pernah dibeda-bedakan.Â
Dalam urusan yang lain termasuk pendidikan, kami berempat mendapatkan kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan sesuai dengan yang dinginkan. Orang tua kami tidak pernah memaksa untuk masuk ke sekolah atau progam studi tertentu saat kami menempuh pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
Tidak ada kata lain, selain bersyukur kepada Tuhan. Orang tua telah membentuk karakter atau sifat kita sebagai manusia sampai dengan saat ini.Â
Paling tidak saya menjadi ketagihan untuk giat menyelesaikan pekerjaan rumah yang sebenarnya tidak akan mengenal habisnya. Dengan kata lain pengalaman masa lalu akan membentuk kepribadian kita saat ini. Â
Alangkah indahnya bila kita saling melayani di dalam rumah tangga kita masing-masing, tentu saja melayani kita maknai sebagai sebuah tanggung jawab dalam menyelesaikan seabrek pekerjaan rumah.Â
Tidak perlu lagi memperdebatkan siapa yang bangun tidur lebih awal dan tidur malam paling akhir, serta pekerjaan rumah apa saja bisa kita dilakukan, karena pada dasarnya pekerjaan rumah itu tidak mempunyai jenis kelamin,
Saat kita mempunyai bayi atau balita pengalaman memandikan, mengganti pempers atau popok karena ompol atau BAB secara bergantian dilakukan bapak dan ibu adalah pengalaman yang sangat seru, apalagi saat bayi rewel minta digendong secara bergantian.Â
Tidak perlu malu bapak menggendong anak, mencuci popok dan menjemur baju di halaman depan rumah. Sebelum menikah sampai dengan saat ini, saat usia pernikahan saya dan istri sudah memasuki lebih dari 8 tahun, saya bersyukur masih bisa konsisten menjalankan segala agenda menyelesaikan pekerjaan rumah.
Pada awal pernikahan, istri saya sempat heran melihat polah tingkah laku saya sebagai seorang laki-laki yang setiap hari menyelesaikan apapun pekerjaan rumah yang ada. Istri saya yang berasal dari sebuah desa di Kabupaten Boyolali itu sempat mengatakan kepada saya bahwa tidak terbiasa melihat laki-laki menyapu, memasak, mencuci baju, mengasuh anak dan lain-lain.
Pengalaman masa lalu yang dialami sangat berbeda dengan saya. Dulu ibunya selalu melayani bapaknya dalam segala hal. Mau makan disiapkan, mau mandi harus menyiapkan air hangat, minuman hangat harus tersaji setiap pagi dan malam, mencucikan bajunya dan sebagainya.
Pengalaman melihat laki-laki melakukan segala macam pekerjaan rumah baru dia alami saat menikah dengan saya. Pengalaman tersebut membuat dia tidak merasa kuatir saat harus pergi meninggalkan anak-anak.Â
Kebetulan saya dan istri dikarunia 2 orang anak, nomor satu perempuan, 7 tahun dan nomor dua laki-laki, 9 bulan. Istri selalu saya bebaskan saat harus pergi untuk urusan apapun, termasuk urusan dengan keluarga besarnya dan biasa mempercayakan kepada saya untuk mengasuhnya.Â
Kalau hanya sekedar urusan menggendong bayi, membikinkan susu, menyuapin makan, mengganti popok karena ompol dan BAB atau memandikan itu urusan yang sederhana dan saya bisa melakukannya. Â
Bukankah kalau masing-masing dari kita, laki-laki dan perempuan bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah, pekerjaan menjadi lebih ringan? Bukankah dengan begitu senyum merekah dan kebahagian selalu menyelimuti rumah tangga kita.Â
Maka cobalah, bukan hanya sekedar berbagi, suami-istri bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga, perempuan menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki menjadi bapak rumah tangga adalah sesuatu yang lumrah terjadi.Â
Karena pada hakekatnya pekerjaan rumah yang selama ini diamini oleh sebagian besar masyarakat dengan menempatkan posisi perempuan sebagai subyek, merupakan kontruksi sosial dan konstruksi gender yang sudah berlaku puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu yang kemudian dikonstruksikan dalam hidup harian kita. Tentu saja tidak mudah untuk mengubah konstruksi tersebut, karena hal ini sudah menjadi budaya dan diyakini kebenarannya.
Tetapi tidak ada salahnya kita mengubah keyakinan dan kepercayaan itu. Mengaungkan laki-laki baru atau laki-laki peduli pekerjaan rumah atau apapun nama lewat kampanye di media cetak, elektronik ataupun on line bisa kita lakukan bersama-sama.Â
Tujuannya adalah terciptanya relasi gender yang setara antara laki-laki dan perempuan, berbagi peran dan tanggung jawab serta sebagai upaya dalam memutus mata rantai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).Â
Jadi kepada para suami-istri, laki-laki dan perempuan tak perlu panik, risau dan kuatir saat ada warga atau tentangga kita yang ngrasani tingkah perilaku kita. Toh, kegantengan dan kecantikan kita tidak akan luntur saat menyelesaikan pekerjaan rumah. Percayalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H