12 Agustus 2012 adalah momen yang tidak akan pernah terlupa. Sosok itu dan keluarga kecilnya lagi-lagi mudik ke Jakarta, tetapi tidak menggunakan bus seperti biasanya, melainkan motor. Ya, ini pengalaman pertamanya naik motor berempat dari Bandung ke Jakarta. Kakak saat itu masih berusia delapan tahun, sedangkan Adik menjelang usia enam tahun. Agar aman, motor diservis dengan lengkap.
Dia juga tidak mau membawa barang-barang yang nantinya malah menyusahkan selama di perjalanan. Pokoknya anak-anak harus nyaman. Baju-baju yang sampai dua tas besar kemudian dipaketkan dengan menggunakan jasa travel ke Kelapa Gading, tidak jauh dari rumah orangtua. Anak-anak juga sudah dibekali dengan membeli helm baru. Juga ada busa tambahan buat tempat duduk Kakak di depan.
Bismillah. Pagi-pagi sekali mereka berempat sudah keluar rumah menapaki jalanan kota Bandung. Soekarno-Hatta, Cimahi, hingga melewati Padalarang. Meski padat di awal-awal perjalanan, setelah Padalarang perjalanan jauh lebih lancar. Cipatat dan Rajamandala dilewati dengan hati riang. Setelah itu berbelok ke kanan, tidak terus ke Cianjur. Iya, sosok itu dan keluarganya memang sengaja mengambil arah ke Jonggol.
Perjalanan yang santai, jadi kalau anak-anak ingin istirahat, ya harus berhenti. Kadang merasa kasihan juga melihat anak-anak yang tampak begitu lelah, tetapi melihat senyum mereka berdua, semangat ini datang kembali. Selama mereka bahagia dan menikmati, sosok itu selalu bersemangat dan tidak boleh merasa capek. Panas yang terik saat melewati Jonggol akhirnya selesai sudah.
Keluarga kecil sosok itu akhirnya sampai di rumah kakaknya di Cileungsi pas menjelang maghrib. Anak-anak memang sengaja tidak berpuasa sehingga masih menyempatkan diri makan atau minum di sepanjang perjalanan. Sosok itu sendiri dan Sang Belahan Jiwa menikmati buka bersama di rumah kakak dengan hati gembira. Menginap semalam di sana menjadi energi tambahan untuk perjalanan esok.
13 Agustus 2012, perjalanan dilanjutkan kembali dari Cileungsi ke Kelapa Gading. Bekasi yang katanya macet, pada hari itu malah terlihat lengang. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, perjalanan kali ini begitu membosankan. Panas terik dan jalanan yang perasaan luruuus saja. Namun semua itu lenyap tak berbekas saat tiba di rumah orangtua. Anak-anak pun bahagia bisa berjumpa dengan Mbah Kung dan Mbah Ti.
DUKA SAAT TAKBISA BERLEBARAN KE JAKARTA
Meski melelahkan, perjalanan naik motor berempat atas nama mudik terasa membahagiakan dan menyenangkan. Sosok itu bahkan bisa membawa anak-anak pada hari ketiga ke Monas. Ceritanya sudah pernah dituliskan di blog sosokitu.com. Anak-anak berkali-kali lipat senangnya bisa naik ke puncak Monas dan juga ngukur jalanan Jakarta yang sepi.
Itu sukanya. Setahun sebelumnya anak-anak bersedih karena tidak bisa ke Jakarta. Alasannya sederhana, kedua orangtuanya memilih berlebaran ke Wonosobo, kampung bapaknya. Kakak sulungnya juga berlebaran ke Nganjuk. Kakak sendiri sedang terkena cacar air dan api, sedangkan Adik kecelakaan karena ketiaknya tertusuk pagar dan harus dijahit hingga sepuluh jahitan.
Akhirnya sosok itu hanya bisa bertelepon ria dengang orangtua dan kakak perempuannya yang tinggal di Cileungsi. Sosok itu merasa sedih karena tidak bisa mudik ke Jakarta. Anak-anak sedih karena tidak bakal mendapatkan uang lebaran yang biasanya banyak didapat dari pakdhe dan mbahnya. Hingga kemudian dapat kabar kalau Bapak akan pulang pada 4 September 2011 barengan dengan kakak pertamanya.
Kakak kedua dan adiknya di kemudian hari menyusul ke Wonosobo. Pulangnya, semua bersamaan akan mampir ke Bandung. Duka yang menyelimuti berangsur-angsur menjadi suka. Arus balik perjalanan mudik ternyata tidak membuat segalanya sesuai waktu. Rombongan Bapak, kakak pertama, kakak kedua, adik, dan tentu saja bersama anak-anak tiba di rumah saat tengah malam.
Detailnya sosok itu telah menuliskan ceritanya pada judul Tamu Tengah Malam di blognya. Dua mobil datang dan hanya mampir selama dua jam saja. Obrolan hangat terjadi dengan sangat cepat. Meski hanya sebentar, paling tidak duka yang awalnya menghampiri bisa berubah menjadi suka. Kedatangan mbahnya adalah berkah yang luar bisa.
Namun dibanding dua cerita di atas, lebaran yang membuat hati ini terasa sepi dan jelas melahirkan duka adalah ... saat Bapak tidak ada. Ibu sudah tidak ada sejak 1996 saat sosok itu masih berstatus mahasiswa. Ya, jika biasanya ada semangat untuk mudik demi berjumpa dengan Bapak di Kelapa Gading, maka saat Lebaran 2016 semangat itu seperti menguap. Sama dengan hari ini, bingung mau lebaran ke mana?[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H