Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tarik Tunai Saat Mudik, Tetap Bisa Tanpa Kartu

29 Mei 2019   22:53 Diperbarui: 29 Mei 2019   23:15 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catechin yang terdapat dalam teh dapat mencegah kanker kulit karena sinar UV maupun karena bahan kimia. Catechin juga dapat mencegah tumor paru dan esophagus. Kekuatan untuk pencegahan terhadap kanker oleh polyphenols lebih besar dari quarcetin, suatu jenis flavonol yang lain. "Subhanallah. Ternyata selain untuk menyegarkan badan, teh juga dapat mengurangi resiko kanker," gumamku sendiri takjub.

Dan ketika kuteruskan membaca karya ilmiah DR. Muhilal yang berjudul "Komposisi Kimiawi dan Manfaat Teh untuk Kesehatan," rasa takjubku semakin bertambah. Teh juga mempunyai khasiat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular, menurunkan berat badan, dan menurunkan tekanan darah tinggi. Robbanaa maa kholaqta haadzaa baathila. Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.

TOK-TOK-TOK! Aku menoleh ke arah pintu. "Silahkan masuk Bu. Pintunya tidak dikunci kok," sahutku kemudian. Lalu daun pintu itu bergerak dan sebentuk wajah Ibu yang teduh muncul bersamaan dengan senyumnya yang khas terkembang. Aku pun membalas senyumannya. "Assalaamu'alaikum," sapa Ibu lembut. "Wa'alaikumsalam," jawabku masih tersenyum.

Ibu mendekatiku dan duduk tepat di sebelahku. "Lagi belajar apa Rin," tanya Ibu. "Kimia Bahan Alam." Aku menghentikan bacaanku dan mengalihkan perhatian ke wajah Ibu. "Ada apa Bu?" tanyaku kemudian. Sejenak Ibu tersenyum lagi dan mengusap kepalaku. "Rin, kamu tahu kan sekarang yang menempati rumah ini hanya tinggal kita bertiga saja termasuk Bapak."

Aku tidak mengerti maksud ucapan Ibu dan akan mengarah kemana, namun aku mengangguk juga. "Sejak kepergian kakak-kakakmu rumah ini menjadi sepi," sahut Ibu lemah. Mendung sudah mulai tampak di pelupuk matanya. "Tapi kan masih ada Rini, Bu." Aku memegang jemari Ibu dan memandangnya dengan penuh harapan. Harapan agar mendungnya kembali sirna. Dan aku berhasil. Ibu pun tersenyum.

"Lagian kan tiap bulan sekali cucu Ibu dan keponakan Rini juga pada datang meramaikan rumah ini," sambungku lagi. Keluarga kami memang termasuk keluarga besar. Keluarga kami yang berjumlah total delapan orang dengan menempati rumah yang sangat sederhana ini, terasa sangat sempit dan ramai. Apalagi perbedaan usiaku dengan kakak-kakakku hanya terpaut dua tahun dan satu tahun saja.

Maka, betapa semaraknya rumah ini ketika kami semua masih kecil. Dan betapa sabarnya Ibu mengurusi kami semua hingga beranjak dewasa dan menjadi orang. Dibandingkan Bapak, Ibu memang lebih dekat dengan anak-anaknya. Namun, satu persatu kakak-kakakku meninggalkan rumah ini untuk berjuang mandiri bersama keluarga barunya, hingga hanya tersisa si bungsu yang masih tercatat sebagai mahasiswi, aku sendiri.

Dan aku bisa merasakan kesedihan hati Ibu atas kehilangan anak-anaknya yang dahulu masih nakal dan lucu-lucunya. "Kamu kepingin nggak, punya adik lagi?" tanya Ibu tiba-tiba. Aku terkejut mendengar pertanyaan Ibu. "Maksud Ibu?" Ibu mengulang pertanyaannya kembali. Aku tidak salah mendengar. Aku agak gelagapan dan merasa salah tingkah dengan pertanyaan itu. Dan akhirnya aku menelan ludahku sendiri.

"Rini kadang-kadang juga pernah menginginkan adanya seorang adik," aku mencoba mengatur napasku yang kurang teratur. "Tapi kan usia Ibu sudah...." Aku tidak tega melanjutkannya lagi dan mencoba untuk melihat ekspresi Ibu. Namun dugaanku meleset. Ibu terlihat tenang dan sedikit tersenyum. Saat itulah aku merasa sebuah cahaya menerangi pikiranku yang sudah buntu.

"Apakah Ibu mau mengadopsi anak?" tanyaku hati-hati. Ibu menggelengkan kepalanya. Dan pikiranku sudah benar-benar buntu kali ini. "Lalu?" Ibu pun berkata, "Ibu hamil, Rin!" Tiba-tiba saja aku merasakan adanya petir yang menyambar kepalaku. Dan waktu berkelebat laksana kilat. Aku ... masih tetap tidak percaya kalau Ibu benar-benar hamil. Bapak pun awalnya sependapat denganku. Namun ini benar-benar terjadi.

Ibu hamil lagi di usianya yang sudah senja. Entah aku gembira atau tidak mendengar berita ini? Gembira karena akan mendapatkan seorang adik lagi yang selama ini hanya menjadi angan-anganku saja atau terasa gamang saja karena mengkhawatirkan kondisi Ibu yang sudah berusia lanjut. "Kira-kira sudah berjalan berapa bulan, Bu?" tanyaku. Ibu tersenyum, "Mungkin sudah berjalan tiga bulan."

"Tiga bulan!" Aku terkejut mendengarnya, namun wajah Ibu terlihat tenang dan sangat bahagia. "Kamu inginnya punya adik laki-laki atau perempuan, Rin?" Aku memegang tangan Ibu dan kemudian meraba perutnya. "Mendengar Ibu hamil saja sudah merupakan keajaiban," ujarku kemudian. "Mungkin ini salah satu karomah Alloh yang patut kita syukuri," tiba-tiba saja Bapak sudah berdiri di dekat kami dan menimpali.

"Karena itu kita harus menjaganya dengan baik dan hati-hati, terutama biangnya ini." Ibu langsung mencubit Bapak, "Bapak bisa saja...." Bapak tertawa dan memeluk Ibu. Aku pun tidak dapat menahan untuk bisa tersenyum dan sekaligus terharu melihat mereka berdua. "Ya sudah. Ayo kita berangkat, Bu. Nanti kita telat lagi check-upnya," Bapak mengingatkan Ibu yang langsung dijawab dengan anggukan.

Semilir angin sore yang dingin menyadarkanku dari lamunan. Aku pun meneruskan pekerjaanku menyapu halaman. "Sebentar lagi mereka datang," bisikku. Dan aku bisa membayangkan ekspresi Bapak dan Ibu saat memasuki halaman rumah ini. Semalam aku membaca jurnal ilmiah kedokteran tentang kehamilan di usia senja. Menurut jurnal itu, kejadian tersebut bisa saja terjadi terhadap 1 dari 1.000.000 orang.

Karena langkanya, pemeriksaan atau check-up harus dilakukan sesering mungkin, apalagi mengingat kondisi inangnya yang sudah berusia lanjut. Kugiring dedaunan terakhir yang berguguran ke dalam pengki dan akhirnya berpindah ke tempat sampah. Aku memperhatikan seluruh halaman dengan teliti. Setelah yakin sudah bersih semua, aku berjalan menuju samping rumah.

Sebuah getaran membuyarkan lamunanku. Getaran dari hape yang kusimpan di saku celana. Saat mengeceknya, ternyata itu dari Kak Tiara, kakak ketiga yang tinggal di Jakarta. "Rin, Kakak sudah transfer satu juta ya buat pegangan kamu. Kalau ada apa-apa sama Ibu, cepat beritahu." Aku langsung kegirangan saat itu juga. Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung mengambil sepeda menuju minimarket terdekat.

Aku ingin membelikan martabak telor kesukaan Bapak dan Ibu, juga sate ayam khas Madura. Sampai di depan minimarket, kuparkirkan sepeda dan langsung merogoh-rogoh saku celana. Dan akhirnya aku menepuk dahi sendiri. "Fiuh, kartu ATM ketinggalan," bisikku kesal. Pada saat ingin berbalik, aku teringat sesuatu. Kuambil hapeku dan langsung membuka aplikasi m-BCA.


Aku memilih menu Tarik Tunai, lalu memilih nominal yang diinginkan, dan klik OK. Setelah memasukkan PIN, langsung mendapatkan kode tarik tunai. Aku pun melenggang santai ke dalam minimarket. Batas waktu tarik tunai adalah dua jam. Untung tidak ada orang lain di depan ATM. Aku pun memilih menu Transaksi Tanpa Kartu dan memencet menu BCA mobile di sebelah kanan.

Aku tinggal memasukkan nomor hape dan lanjut dengan input kode tarik tunai yang terdiri atas enam digit. Tidak berapa lama mesin berproses, dan uang yang kubutuhkan langsung keluar. Aku pun bergegas ke tukang martabak telor dan sate ayam langganan. Sampai di rumah, Bapak dan Ibu belum sampai. Aku bersyukur. Tak lama terdengar suara mesin yang sudah akrab di telingaku mendekat. Suara mobil Bapak.

Aku langsung keluar untuk menyambut mereka. Namun langkahku terhenti seketika saat melihat wajah Ibu yang sembap. Lagi-lagi dugaanku meleset, bahkan jauh sekali dari perkiraan semula. Tiba-tiba saja Ibu berlari ke arahku dan memelukku erat, menangis. Aku yang tidak tahu apa-apa tentu saja bingung harus bagaimana. Aku hanya bisa larut dalam kesedihan Ibu yang tidak kumengerti.

Rasa haru dan bingung berbaur menjadi satu dalam dekapan. "Sudah, sudah...," suara Bapak menenangkan. Bapak lalu menggamit pundak Ibu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti mereka dengan hati penuh tanda tanya. Kemudian duduk di ruang tamu menatap mereka memasuki kamar. "Mungkinkah Ibu...?" tanyaku mengira-ngira.

Segala macam kemungkinan bisa saja terjadi dan aku tidak bisa menduganya begitu saja. Yang harus kulakukan adalah menunggu penjelasan dari Bapak. "Rin...," ucap Bapak setelah keluar dari kamar dan duduk di sebelahku. Aku berusaha memasang telinga lebar-lebar. "Ibu harus menjalani operasi," suara Bapak bergetar. Aku langsung terlonjak mendengarnya. "Mungkinkah calon adikku tidak normal?" tanyaku sendiri.

Aku menatap wajah Bapak, butuh penjelasan lebih lanjut. Bapak menarik napas sejenak, "Ibu ternyata tidak hamil, Rin." Tulang-tulangku lolos begitu saja satu persatu dari persendianku. "Ibu mengalami hamil anggur," lanjut Bapak. Aku pun diam terduduk. Angin seolah-olah berhenti dan menghilang dari peredaran. Sepi, tidak ada gerakan. Di meja dapur, martabak telor dan sate ayam masih menunggu untuk dibuka.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun