Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

20 Jam Bersama Wimcycle HotRod 1.0

2 Maret 2016   11:30 Diperbarui: 2 Maret 2016   12:09 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir. Macet. Mogok.

[caption caption="Wimcycle Hotrod 1.0"][/caption]Itulah tiga kata yang selalu mengiringi Kota Jakarta saat musim hujan. Meski sebenarnya tanpa perlu kata 'banjir' dan 'mogok' pun, kota metropolitan ini sudah sering disematkan dengan kemacetan. Persoalan klasik. Lalu adakah cara untuk mengatasi banjir? Hmmm ... sudah pasti tidak bisa dikerjakan sendiri. Harus menyeluruh, mulai dari pemerintah, pihak swasta, dan tentu harus melibatkan masyarakat. Tetapi bagaimana agar bisa beraktivitas pada musim hujan dan banjir ini? Ada. 

Dan caranya pun sederhana, asal mau dan niat yang kuat. Bersepeda. Ya, ngagowes atau ngaboseh. Kebetulan saya pernah dan sering melakukannya. Saya pernah ngaboseh di daerah-daerah banjir meski setelahnya ya harus melumasi kembali rantai sepeda yang basah agar tidak berkarat. Kebetulan saya pernah menuliskan pengalaman berharga itu di tulisan Gowes Menembus Banjir Jakarta.

Sepeda sudah menjadi bagian hidup saya. Dari usia SD saya sudah bersepeda, bahkan sudah mulai berani ngaboseh ke jalan-jalan besar seperti Jl. RE Martadinata Jakarta Utara yang begitu banyak kendaraan berat. Saat usia SMP, saya mulai berani bersepeda agak jauh. Dan puncaknya adalah ketika saya hijrah ke Bandung untuk berkuliah dan kemudian berkeluarga, sepeda adalah transportasi pilihan selama kuliah dan kemudian bekerja pada tahun 2005.

 Sejak saat itu, sepeda seperti tidak lepas dari kehidupan saya. Ada banyak orang yang tahu betul betapa tergila-gilanya saya pada sepeda. Kalau mau membaca cerita yang lebih gila lagi, saya pun pernah bersepeda di musim hujan dari Jakarta ke Bandung selama 20 jam. Kebetulan salah satu tempat yang saya kunjungi adalah Bendungan Katulampa, sebuah bendungan yang begitu erat dengan banjir di Jakarta.

[caption caption="Wimcycle Hotrod 1.0 yang bertipe MTB bisa juga dipasangi pannier, asal dengan beban yang tidak lebih dari 2 kg. Pannier ini dikaitkan pada batang saddle dan diperkuat dengan digantungkan pada besi tepat di bawah saddle. Dijamin tidak memberatkan perjalanan yang jauh sekalipun karena tidak diperlukan lagi tas backpacker yang cenderung memberatkan punggung."]

[/caption]

ETAPE 1 MENUJU BENDUNGAN KATULAMPA

Sepeda Wimcycle seri Hotrod 1.0. Itulah sepeda yang saya gunakan untuk menempuh perjalanan jauh dari Jakarta ke Bandung, bersama 39 orang pesepeda lainnya. Sebelumnya, saya menggunakan sepeda yang sama untuk mencoba seorang diri dari Bandung ke Jakarta. Namun tidak tuntas karena kepayahan di Puncak Pass saat tengah malam. Ya, 40 orang gila mau bersepeda di tengah cuaca yang tidak bersahabat, menempuh jarak sejauh 150 km. 

Ini pengalaman kesekian yang tidak mudah dilupakan, apalagi mengingat bahwa sepeda itu tidak lagi saya miliki karena harus dijual demi memenuhi kebutuhan keluarga. Hiks. Kesedihan yang amat sangat mengingat sepeda itu didapat dengan tidak mudah, mencicil selama 10 bulan, lalu menemani saya bertualang ke beberapa tempat yang eksotis. Salah satu kisahnya adalah apa yang akan saya ceritakan ini.

31 Januari 2014. Jumat pagi yang masih gelap. Saya sudah bersiap-siap membersihkan dan memeriksa si Hotty, julukan yang disematkan sepeda berwarna biru itu. Paling utama adalah memeriksa rem dan tekanan angin. Pukul 05.00 saya pun sudah menembus pagi meninggalkan Petamburan, Tanah Abang. 

Anggap saja pemanasan sehingga kecepatan tidak terlalu penuh. Jarang-jarang menghirup udara segar di Jakarta. Pukul enam kurang sedikit, saya sudah sampai di daerah Radio Dalam untuk bertemu dengan rombongan pertama. Tanpa sempat beristirahat, rombongan ini langsung berjalan cepat melewati Pondok Indah, Ciputat, dan akhirnya menuju Parung sebagai titik temu semua rombongan yang berasil dari Tangerang dan timur Jakarta. Saya kebetulan memang ngaboseh bareng Rangers, Komunitas B2W Tangerang.

Setelah beberapa pesepeda sarapan seadanya dan memeriksa lagi perlengkapan yang dibawa, rombongan yang sudah lengkap melanjutkan perjalanan pada pukul delapan menuju Kota Bogor. Untuk mengurangi beban, kami membawa satu mobil pickup untuk membawa perbekalan makanan dan sekaligus berjaga-jaga kalau ada pesepeda yang harus diangkut. Sepeda yang digunakan terbagi dua, yaitu sepeda bertipe bikepacker (roda flat dengan rak pannier di belakang) dan sepeda MTB. 

Lalu lintas Jakarta–Bogor pagi itu terbilang sepi sehingga laju sepeda bisa dipasang full speed, dan hanya memerlukan waktu satu setengah jam bagi rombongan untuk sampai di Kota Bogor. Indahnya berkomunitas adalah persahabatan antar pehobi sepeda meski belum saling mengenal. Dan itulah yang terjadi. Saya dengan Rangers dan kemudian bertemu lagi dengan rombongan Komunitas B2W Bogor yang dengan tangan terbuka menyambut kedatangan kami.

[caption caption="Katoelampa-dam adalah bagian dari sistem tata kelola perairan (water management) pemerintah Belanda untuk pengendalian banjir agar Batavia terbebas dari kemungkinan banjir. Bendungan ini diresmikan pada 11 Oktober 1912 oleh Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg dan dirancang untuk mengatur debit air ke kawasan bawah, serangkai dengan Kanal Banjir Barat, Kanal Banjir Timur, dan kanal-kanal kecil lainnya.

 Bendungan hasil karya Ir. Van Breen ini memiliki panjang total 74 meter dengan 5 inlaatsluis (pintu untuk mengalirkan arus ke kawasan di bawah), 3 spuisluis (pintu untuk menahan air, jika volume air berlebihan dan mengancam kawasan bawah), dengan lebar masing-masing pintu 4 meter. Saluran irigasi dari bendungan ini mempunyai kapasitas maksimum sekitar 6.000 liter perdetik. Artinya, dalam waktu 3-4 jam kemudian air akan sampai di daerah Depok."]

[/caption]Rombongan dari Bogor inilah yang kemudian bersedia mengantarkan kami ke Bendungan Katulampa. Dari jalan Raya Pajajaran, kami masuk ke jalan Tunjung Biru dan Sipatahunan. Ini adalah daerah perumahan sehingga tidak terlalu terganggu oleh kendaraan bermotor. Perjalanan kemudian diarahkan melalui jalan Sari Bentang hingga menembus jalan Arka Domas yang terbilang baru, lurus, dan naik turun mengikuti kontur tanah. 

Jalan terputus oleh genangan ditembus dengan sukacita sampai bertemu jalan yang bersisian dengan sebuah sungai. Inilah jalan Katulampa. Rasanya adem dan menyegarkan bersepeda di daerah ini, apalagi semalam diguyur hujan. Satu kilometer kemudian, tampaklah bendungan legendaris itu.

Bendungan Katulampa ternyata begitu dekat dengan gerbang tol di ujung tol Jagorawi. Jadi kalau masuk tol dari arah Puncak menuju Jakarta, pada saat melewati sungai pas sebelum gerbang tol, lihatlah ke arah sebelah kiri. Bendungan yang terlihat kecil ini diresmikan kembali oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan pada 15 Februari 2012. 

Debit air yang saya lihat memang lagi besar-besarnya, arus derasnya bahkan membuat jerih. Jalan menuju bendungan ini hanya cukup untuk satu mobil dan akan menemui jalan buntu di kantor petugas bendungan, sedangkan kendaaran beroda dua bisa meneruskan melewati atas bendungan atau atas kali.

Puas berfoto-foto, kami pun melanjutkan perjalanan menyusuri jalan Babadak. Jalan setapak dengan tipe beraspal dan semen mengiringi perjalanan kami di daerah Cipeundeuy, Pandan Pasir. Tepat di sebelah kiri sungai. Hingga kemudian menyeberang sungai melewati jembatan kecil yang hanya muat satu kendaraan saja. Keluar dari daerah Katulampa, ternyata langsung bertemu dengan jalan tol Jagorawi, pas di rest area. 

Saya lalu memasuki daerah pesawahan dan menyusuri sebuah kanal kecil berkelok-kelok hingga bisa keluar di daerah Gadog, jalan Raya Puncak. Sampai di sini, rombongan Tangerang berpisah dengan rombongan Bogor. Perpisahan yang mengharukan. Bentuk persahabatan di atas sepeda. Ternyata perjuangan baru saja dimulai dengan jalanan menanjak. Pendakian tanpa lelah berlanjut menembus kabut tebal yang dimulai dari SPBU Tugu. Fiuh!

[caption caption="“Het was hoogst noodig dat deze permanente dam tot stand kwam, nu kan Weltevreden geregeld spuiwater krijgen en de kans op groote overstroomingen te Batavia is vrijwel uitgesloten. Adalah sangat perlu bendungan permanen ini direalisasikan, kini Weltevreden (Menteng) bisa secara teratur memperoleh pengairan dan peluang banjir besar di Batavia nyaris tertutup.” (Bataviaasch Nieuwsblad, 12 Oktober 1912)."]

[/caption]

ETAPE II MENUJU BANDUNG

Pendakian berlanjut. Meski memiliki kontur roda yang cocok untuk cross country, tetapi si Hotty memang tangguh di segala medan. Jalan menanjak di atas aspas berhasil dilibas. Persneling diatur seringan mungkin agar kaki tidak terlalu terbebani dan proses ngaboseh berlangsung dengan baik. Jalan menanjak tidak menjadi halangan untuk terus ngaboseh. Meski di belakang, saya melihat ada beberapa orang yang terpaksa mendorong sepedanya. 

TTB adalah istilah bagi orang-orang tersebut. Artinya ya tun-tun bike alias sepeda yang dituntun hehehe. Pada akhirnya ada dua orang wanita yang mengikuti tur ini merasa tidak sanggup melanjutkan ngaboseh. Mereka pun terpaksa diangkut dengan mobil pickup. Pukul 11.30, saya membelokkan diri ke halaman masjid di daerah Cibogo untuk menunaikan Shalat Jumat. Tampaknya kawan-kawan juga sudah tersebar di beberapa masjid.

Satu hal yang tidak bisa saya lupakan adalah turunnya kabut yang amat tebal mulai dari SPBU Tugu. Di titik ini pula awal kemacetan yang menuju arah Jakarta. Gerimis kecil yang dirasakan pun tampaknya adalah efek dari kabut tersebut terbukti dengan hadirnya embun-embun di permukaan sarung tangan yang dikenakan. Mobil pengiring rombongan yang membawa pisang dan minuman pun diserbu untuk mengisi kembali perut keroncongan dan botol bidon kosong. 

Sensasi menembus kabut dengan jarak pandangan 5-10 meter benar-benar eksotis. Hawa dingin tidak terlalu dirasa karena kondisi tubuh begitu panas untuk melawan tanjakan yang seperti tiada akhir. Beberapa kawan pesepeda sebentar-sebentar berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Mereka berkumpul dengan kelompok-kelompok kecil di daerah Gunung Mas dan terakhir di Warung Mang Adi, Puncak Pass. Di sinilah pusat kabut paling tebal. Masjid At-Taawun yang menjadi ikon Puncak pun hanya berupa bayangan saja. Sosok itu sendiri masih bisa menikmati semangkok sekoteng untuk menghangatkan perut.

[caption caption="Pemandangan dan pengalaman eksotis saat bersepeda di tengah hujan sambil menembus kabut ^_^"]

[/caption]Selepas dari Puncak Pass, semua rombongan menikmati jalan menurun hingga Cipanas. Kabut yang tebal makin berkurang hingga benar-benar hilang, tetapi langsung tergantikan oleh hujan deras. Sosok itu sendiri terpaksa mengenakan jas hujan karena tidak kuat dengan dinginnya. Saat menanjak, tubuhnya terasa panas tapi saat jalan mulai menurun maka tubuhnya mulai agak mendingin. Tanpa terasa, azan maghrib berkumandang saat saya memasuki Kota Cianjur.

 Rombongan sudah benar-benar terpisah. Tidak tahu lagi berapa orang yang sudah lebih dahulu dan berapa orang yang masih tertinggal di belakang. Saya sudah sendirian. Untunglah mentalnya sudah teruji dengan seringnya bersepeda sendiri ke beberapa tempat. Bagi yang belum terbiasa, mungkin akan memberikan sensasi tertentu.

Kondisi cuaca yang buruk, regrouping yang berjumlah banyak, dan istirahat sambil makan/minum membuat perjalanan Tour de Paris Van Java ini terbilang lama. Sebelumnya saya pernah ngaboseh dari Bandung ke Jakarta dengan waktu hanya 12 jam lebih sedikit, sendirian. Dengan waktu yang sama dengan arah sebaliknya, ternyata baru sampai Cianjur. Sampai Ciranjang, perutnya keroncongan dan terpaksa mampir ke pedagang bubur ayam. Apalagi tadi pagi hanya diisi dengan cokelat dan pisang. Semangkuk cukuplah untuk mengisi sebagian perutnya itu. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 20.00. 

Pada pukul 22.00 kurang saya terpaksa beristirahat di SPBU Cipatat karena lutut kiri terasa sakit. Ini adalah efek jangka panjang dari tubuhnya yang terus diforsir. Lari, bersepeda, berulang-ulang. Setelah shalat jamak dan membersihkan diri seadanya, saya berbaring sejenak dan sempat berpikir tidak melanjutkan kembali. Pukul 23.00, sepuluh orang rombongan sisa ikut mampir. Mereka tampaknya tertinggal jauh di belakang. Sebuah kekuatan muncul kembali dan memaksa saya untuk meneruskan perjalanan sambil menahan nyeri yang amat sangat di daerah lutut kiri. Kekuatan kebersamaan.

[caption caption="Pendakian yang melelahkan. Saya pun beberapa kali berhenti untuk mengumpulkan tenaga sekaligus mengisi perut yang kosong dengan sekoteng. Paling tidak bisa menghangatkan di cuaca yang ekstrem dingin."]

[/caption]Pada akhirnya, saya pun menyerah di daerah Citatah. Beberapa orang juga sudah tidak sanggup lagi karena tenaga yang sudah habis. Apalagi malam semakin menunjukkan kegarangannya dengan udara dingin. Sakit pada lutut kiri begitu hebat. Mobil pickup pun menjemput tepat pada pukul 01.00 dini hari. Demi mengejar waktu istirahat beberapa pesepeda yang bertebaran di Citatah, Padalarang, dan Cimahi juga langsung diangkut.

 Seluruh rombongan Tour de Paris Van Java berhasil sampai di Wisma PU di Jl. Martadinata pada pukul 02.00 dini hari. Menyisakan satu orang yang masih meneruskan ngabosehnya di daerah Padalarang, yaitu Om Edi, yang tidak mau di-loading. Benar-benar istimewa dan momen bersepeda yang tidak akan pernah dilupakan oleh siapapun yang mengikutinya.

Saya kemudian membersihkan tubuh dan mengganti pakaian yang basah. Bersantai sejenak di ruang lobby sambil menikmati pisang dan kue-kue yang tersedia. Beberapa kawan sudah beristirahat di kamarnya masing-masing. Saya pun sempat terlelap di sofa. Saat tersadar, sudah tidak ada kawan-kawan di sana. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.00. Saya segera mempersiapkan diri, lalu pamit pada sang resepsionis. Saya memang tidak berencana menginap di wisma, tapi langsung pulang ke rumah. 

Dingin dan gelap mengiringinya ngaboseh dari Wisma PU menuju Binong. Sampai di Pasar Kiaracondong, saya menikmati sarapan kupat tahu diiringi adzan Subuh. Takada lagi tenaga yang tersisa, hanya semangat untuk sampai di rumah, memeluk dan menciumi anak-anak, shalat, lalu beristirahat total. Perjalanan legendaris bersama si Hotty, sepeda Wimcycle Hotrod 1.0 yang kini sudah tidak ada. Perjalanan 20 jam menembus kabut yang amat tebal dan hujan lebat. Perjalanan yang hanya menghabiskan 5 liter air, tanpa polusi.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun