ETAPE II MENUJU BANDUNG
Pendakian berlanjut. Meski memiliki kontur roda yang cocok untuk cross country, tetapi si Hotty memang tangguh di segala medan. Jalan menanjak di atas aspas berhasil dilibas. Persneling diatur seringan mungkin agar kaki tidak terlalu terbebani dan proses ngaboseh berlangsung dengan baik. Jalan menanjak tidak menjadi halangan untuk terus ngaboseh. Meski di belakang, saya melihat ada beberapa orang yang terpaksa mendorong sepedanya.Â
TTB adalah istilah bagi orang-orang tersebut. Artinya ya tun-tun bike alias sepeda yang dituntun hehehe. Pada akhirnya ada dua orang wanita yang mengikuti tur ini merasa tidak sanggup melanjutkan ngaboseh. Mereka pun terpaksa diangkut dengan mobil pickup. Pukul 11.30, saya membelokkan diri ke halaman masjid di daerah Cibogo untuk menunaikan Shalat Jumat. Tampaknya kawan-kawan juga sudah tersebar di beberapa masjid.
Satu hal yang tidak bisa saya lupakan adalah turunnya kabut yang amat tebal mulai dari SPBU Tugu. Di titik ini pula awal kemacetan yang menuju arah Jakarta. Gerimis kecil yang dirasakan pun tampaknya adalah efek dari kabut tersebut terbukti dengan hadirnya embun-embun di permukaan sarung tangan yang dikenakan. Mobil pengiring rombongan yang membawa pisang dan minuman pun diserbu untuk mengisi kembali perut keroncongan dan botol bidon kosong.Â
Sensasi menembus kabut dengan jarak pandangan 5-10 meter benar-benar eksotis. Hawa dingin tidak terlalu dirasa karena kondisi tubuh begitu panas untuk melawan tanjakan yang seperti tiada akhir. Beberapa kawan pesepeda sebentar-sebentar berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Mereka berkumpul dengan kelompok-kelompok kecil di daerah Gunung Mas dan terakhir di Warung Mang Adi, Puncak Pass. Di sinilah pusat kabut paling tebal. Masjid At-Taawun yang menjadi ikon Puncak pun hanya berupa bayangan saja. Sosok itu sendiri masih bisa menikmati semangkok sekoteng untuk menghangatkan perut.
[caption caption="Pemandangan dan pengalaman eksotis saat bersepeda di tengah hujan sambil menembus kabut ^_^"]
 Rombongan sudah benar-benar terpisah. Tidak tahu lagi berapa orang yang sudah lebih dahulu dan berapa orang yang masih tertinggal di belakang. Saya sudah sendirian. Untunglah mentalnya sudah teruji dengan seringnya bersepeda sendiri ke beberapa tempat. Bagi yang belum terbiasa, mungkin akan memberikan sensasi tertentu.
Kondisi cuaca yang buruk, regrouping yang berjumlah banyak, dan istirahat sambil makan/minum membuat perjalanan Tour de Paris Van Java ini terbilang lama. Sebelumnya saya pernah ngaboseh dari Bandung ke Jakarta dengan waktu hanya 12 jam lebih sedikit, sendirian. Dengan waktu yang sama dengan arah sebaliknya, ternyata baru sampai Cianjur. Sampai Ciranjang, perutnya keroncongan dan terpaksa mampir ke pedagang bubur ayam. Apalagi tadi pagi hanya diisi dengan cokelat dan pisang. Semangkuk cukuplah untuk mengisi sebagian perutnya itu. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 20.00.Â
Pada pukul 22.00 kurang saya terpaksa beristirahat di SPBU Cipatat karena lutut kiri terasa sakit. Ini adalah efek jangka panjang dari tubuhnya yang terus diforsir. Lari, bersepeda, berulang-ulang. Setelah shalat jamak dan membersihkan diri seadanya, saya berbaring sejenak dan sempat berpikir tidak melanjutkan kembali. Pukul 23.00, sepuluh orang rombongan sisa ikut mampir. Mereka tampaknya tertinggal jauh di belakang. Sebuah kekuatan muncul kembali dan memaksa saya untuk meneruskan perjalanan sambil menahan nyeri yang amat sangat di daerah lutut kiri. Kekuatan kebersamaan.
[caption caption="Pendakian yang melelahkan. Saya pun beberapa kali berhenti untuk mengumpulkan tenaga sekaligus mengisi perut yang kosong dengan sekoteng. Paling tidak bisa menghangatkan di cuaca yang ekstrem dingin."]
 Seluruh rombongan Tour de Paris Van Java berhasil sampai di Wisma PU di Jl. Martadinata pada pukul 02.00 dini hari. Menyisakan satu orang yang masih meneruskan ngabosehnya di daerah Padalarang, yaitu Om Edi, yang tidak mau di-loading. Benar-benar istimewa dan momen bersepeda yang tidak akan pernah dilupakan oleh siapapun yang mengikutinya.