8. AIPDA (Anumerta) Karel Satsuitubun
9. Brigadir Jenderal (Anumerta) Katamso Darmokusumo
10. Kolonel (Anumerta) Sugiyono Mangunwiyoto
11. Ade Irma Suryani Nasution (Putri Abdul Haris Nasution)
Latar Belakang  Peristiwa
Jika kita mencari tahu secara pasti dari berbagai sumber tentang siapa yang menjadi dalang utama peristiwa gerakan G30S/PKI 1965 tentu kita tak akan mendapatkan sumber pasti tentang siapa dalang utamanya. Akan tetapi berdasarkan beberapa sumber terkait latar belakang terjadinya peristiwa G30S, peristiwa tersebut terjadi diakibatkan oleh beberapa sebab. Salah satu sebab yang melatarbelakanginya adalah persaingan politik yang berujung pada keinginan merebut tahta pemerintahan akibat dari konflik segitiga yang terjadi dalam pemerintahan Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan ABRI/TNI. Ahli sejarah berkebangsaan Irlandia yakni Benedict Anderson dan seorang sejarawan asal Amerika Ruth T. Mcvey mengungkapkan bahwa PKI sendiri tak memiliki motif dan kepentingan yang istimewa untuk melakukan kudeta karena pada dasarnya PKI sendiri telah memiliki pengaruh yang kuat di Indonesia. Kuat yang dimaksud dalam hal ini bukan dari segi persenjataan melainkan pengaruh dan pengikut massa yang begitu banyak sejak PKI berdiri di Indonesia pada 1914 silam.Â
Pasca diperolehnya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Indonesia harus mengalami banyak praktik agresi militer  yang dilakukan oleh pihak-pihak negara penjajah. Maka dari itu, pasca ditunjuknya presiden Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pada saat itu. Soekarno menginginkan adanya peran serta masyarakat luas untuk mempertahankn negara Indonesia. Maka dari itulah, Soekarno menginginkan adanya dukungan besar agar legitimasinya sebagai kepala negara dapat diperkuat dan cita-cita membangun bangsa dapat tercapai. Jika kita melihat dari sudut pandang militer, tentu keikutsertaan militer pada aksi-aksi politik dan bidang pemerintahan justru cukup terbatas. Hal tersebut dipicu dari masih terpecahnya ABRI/TNI akibat imbas dari perjuangan memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Harold Crouch dala bukunya "Military and Politic in Indonesian" menyatakan bahwa organisasi militer Indonesia pada saat itu masih terpecah menjadi beberapa bagian. Misalnya saja adanya militer Indonesia yang merupakan bentukan dan binaan dari para tentara Belanda dan jepang, serta adanya kekuatan militer di daerah-daerah yang berasal dari perang-perang gerilya yang dibentuk atas dasar informal dan spontanitas dalam perjuangan.
Akibat dari keberagaman dalam tubuh institusi militer Indonesia pada saat itu serta perbedaan ideologi, menyebabkan terjadinya konflik internal. Contohnya saja ketika pada tanggal 3 Juli 1946, terjadi peristiwa penculikan yang dilakukan beberapa orang perwira tinggi militer Indonesia terhadap Sultan Sjahrir karena mereka menuding Sultan Sjahrir yang menjadi Perdana Menteri pada saat itu dianggap terlalu mengalah terhadap Belanda. Kemudian pada 15 Februari 1958, peristiwa PRRI atau Permesta pecah di Indonesia. Walau terlibat beberapa konflik yang terjadi selama masa kepemimpinan Presiden Soekarno, TNI pada waktu itu tetap dianggap sebagai institusi pertahanan negara yang cukup kuat dan memiliki hubungan baik dengan Presiden Soekarno.
Walau memiliki hubungan yang baik dengan Presiden Soekarno, hal itu tidak serta merta melegitimasi hak dan wewenang militer untuk ikut serta dalam pemerintahan dan aksi-aksi politik pada saat itu, Harold Crouch juga menyatakan bahwa, akibat dari lemahnya sistem parlementer Indonesia dan ketidakstabilan politik. Maka dimungkinkannya TNI untuk memiliki peran sebagai jalan tengah, yakni memliki sikap tak sepenuhnya ikut campur dalam urusan pemerintahan juga tak apatis terhadap urusan pemerintahan. Hubungan kedekatan antara militer dan Soekarno memuncak pada saat periode Demokrasi Terpimpin. Walau demikian, Soekarno sadar betul bahwasannya ia tak bisa sepenuhnya mengandalkan dukungan dari militer. Alasan yang mendasarinya ialah Soekarno tak ingin legitimasi yang diberikan kepada militer suatu hari justru digunakan untuk melemahkan kekuasaannya di Indonesia. Maka dari itu, Soekarno melakukan kerjasama dan mencari suaka dukungan melalui keterlibatan  Partai Komunis Indonesia. PKI sendiri bukanlah organisasi politik yang memiliki kekuatan senjata seperti militer. Melainkan mereka memiliki teknik pendekatan dengan menanamkan doktrin ideologi terhadap kaum kelas buruh, petani, dan masyarkat kelas bawah lainnya. Tak heran jika massa PKI yang begitu banyak yang pernah tercatat dalam sejarah memiliki hampir 3 juta anggota pada 1960-an.
Militer Indonesia sendiri mengalami puncak karir yang melesat dalam masa pemerintahan Soekarno ketika terjadinya operasi Trikora pada 19 Desember 1961 - 15 Februari 1962. Pasca meletusnya operasi militer yang bertujuan merebut papua kembali ke Indonesia. Maka dari itu, Â dibentuklah komite Tertinggi (KOTI) yang diketuai Soekarno sebagai panglima dan Jenderal Nasution sebagai wakil panglima.Â
Beberapa tahun pasca operasi tersebut, peran PKI dalam pemerintahan Soekarno kembali mencuat. Khususnya kala presiden Soekarno resmi mengangkat Jenderal Ahmad Yani sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dan Soekarno pun mulai menghilangkan hukum darurat militer khususnya pada operasi Dwikora. Melesatnya karir PKI dalam pemerintahan Soekarno ditandai dengan keberhasilan mereka menanamkan narasi anti iperialisme barat dan menggerakkan massa untuk menasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Walu kuat dalam hal pengaruh politik dan jumlah massa, PKI sendiri nyatanya masih lemah dalam hal kekuatan persenjataan dibandingkan kekuatan militer Indonesia. Karena itulah, keamanan PKI sendiri masih bergantung pada kebijakan yang dikeluarkan Presiden Soekarno.