Pertemuan Luhut Binsar Pandjaitan pada bulan April lalu dengan Elon Musk terkait pembahasan tentang electric vehicle atau mobil listrik, renewable energy, dan B20 menjadi buah bibir di kalangan para akademisi dan pemerhati lingkungan.Â
Rencana pemerintah untuk dapat  membuat dan menghasilkan sendiri baterai berbahan dasar nikel demi tujuan menjadi pemasok nikel terbesar di dunia kerap menimbulkan tanda tanya besar.Â
Mengapa hal tersebut begitu diprioritaskan? Apakah kendaraan listrik mampu menjadi pengganti sepadan dari ruwetnya permasalahan tentang  kelangkaan bahan bakar di Indonesia akhir-akhir ini?Â
Bagaimana nasib masyarakat yang berada dalam kelas ekonomi ke bawah yang harus berjuang bertahan hidup sambil berani mempertaruhkan kesehatan hidupnya akibat terkena limbah perusahaan?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, kita coba memulai pembahasan dari pertanyan apa yang sebenarnya terjadi dengan Pulau Obi?
Kepualauan ObiÂ
 Pulau Obi merupakan salah satu pulau terbesar yang terletak di gugusan kepulauan Obi. Dengan nama lain yang yakni Pulau Obiora, pulau Obi menjadi salah satu destinasi wisata bagi masyarakat Indonesia yang berada di Provinsi Maluku Utara.Â
Pulau Obi juga merupakan bagian dari Kabupaten Halmahera Selatan. Secara administratif, Pulau Obi berbatasan langsung dengan Provinsi Maluku d sebelah selatan  dan Provinsi Papua Barat sebelah Timur.Â
Jumlah penduduk di Pulau Obi sebanyak 42.774 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 15 jiwa/km2 (Disdukcapil, Halmahera Selatan, 2010).Â
Sementara latar belakang suku dari masyarakat Obi yang hidup di Pulau tersebut terdiri dari suku Buton, suku Tobelo-Galela, Ternate, Tidore, Makian-Kayoa, Bugis, Makassar, dan Jawa.
Pulau Obi sendiri jika dilihat dari potensi sumber daya alam yang terdapat di sana, sektor tambang menjadi salah satu sektor yang sejak beberapa tahun terakhir kerap dikembangkan secara masif.Â
Potensi sumber daya alam sektor tambang yang terdapat di sana antara lain emas, batubara, nikel, semen, minyak bumi dan lain sebagainya. Karena besarnya potensi sumber daya alam sektor tambang tersebut, sehingga dijadikan sebagai salah satu kontribusi pendapatan daerah Halmahera selatan.
Tambang Nikel Pulau Obi
Salah satu perusahaan terbesar yang berhasil mewadahi beberapa anak perusahaan di sana yakni Harita Group menjadi salah satu perusahaan besar yang memilki andil besar terhadap pengelolaan dan pengolahan pabrik nikel di Obi.Â
Industri Nikel yang ada di daerah tersebut telah bergerak sejak tahun 2018. Desa Kawasi menjadi saksi hidup dari perjalanan panjang jejak perusahaan tersebut berhasil menancapkan pondasi pertamanya dalam upaya mengeruk kekayaan alam Pulau Obi.Â
Desa tersebut telah terkepung sejak tahun 2007. Masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya dari yang awalnya sebagai nelayan kini harus bekerja ekstra melaut hingga ke laut lepas di luar dari wilayah Pulau Obi.Â
Pasalnya beberapa perusahaan penunjang dari PT Harita Group, yakni PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa telah berhaslil mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) dari Bupate Halmahera Selatan dengan konsesi seluas 5.524 hektar.Â
Selain itu beberapa perusahaan lain yang terafiliasi dengan Harita dan operasi di atas IUP PT Trimegah Bangun Persada yang juga bergerak dalam produksi bijih nikel antara lain PT Megah Surya Pertiwi, PT Halmahera Persada Lygend, dan PT Halmahera Jaya Feronikel.
Pencemaran Lingkungan (rusaknya ekosistem Laut Obi)
Hidup dalam wilayah kepulauan membuat masyarakat lokal yang hidup di daerah tersebut memilih menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Berprofesi sebagai nelayan menjadi sebuah pekerjaan yang lumrah dan membuat sejahtera masyarakat di sana.Â
Bahkan berdasarkan keterangan dari Narasi Neswoom, Perairan Obi dan Maluku Utara merupakan salah satu lumbung ikan nasional. Akan tetapi predikat tersebut agaknya kerap dipertanyakan beberapa tahun terakhir.Â
Pasalnya kualitas dari air laut di sekitar Kepualauan Obi saat ini kian tercemar. Bahkan berdasarkan penelusuran dari tim Narasi Newsroom, dari jumlah sampel air dan beberapa ekor ikan yang diteliti hasilnya sungguh mengejutkan.Â
Beberapa Ikan yang hidup di daerah perairan Obi yang terdampak polutan dari perusahaan nikel di sana, mengalami keracunan serta kerusakan pada sel jaringan seperti pada usus, insang, dan otot.Â
Bahkan temuan tersebut sejalan dengan riset yang pernah dilakukan oleh peneliti Universitas Khairun Ternate yang menyebutkan dalam jurnalnya bahwa secara umum polutan yang mencemari laut dari limbah buangan perusahaan telah terakumulasi dalam sel jaringan pada ikan-ikan yang hidup di perairan obi sehingga rentan terhadap keracunan.
Selain rusaknya ekosistem laut dengan tergangunya kehidupan biota laut yang hidup di perairan tersebut, masalah lainnya yang muncul yakni limbah-limbah hasil buangan perusahaan seperti limpahan lumpur, dan limbah pabrik kerap mengalir deras menuju perairan laut Obi melalui sungai Todoku, Sungai Akelamo, dan sodetan sungai kecil yang berada di desa Kawasi Kabuapten Halmahera Selatan.
Perubahan Kultur Sosial Masyarakat Kepulauan Obi
Berdasarkan laman Mongabay Indonesa, seorang warga desa kawasi menuturkan bahwa dampak cukup terasa yang dirasakan adalah terjadinya perubahan sosial budaya dan ancaman bencana ekologis yang makin dekat dengan warga. Kehidupan masyarakat yang awalnya bertani dan nelayan kini telah beralih menjadi buruh-buruh di industri tambang.
Sejak 15 tahun yang lalu atau sebelum adanya aktivitas perusahaan nikel di daerah Kepulauan Obi berjalan seperti sekarang, kehidupan masyarakat cenderung hidup dalam keadaan damai dan tentram.Â
Kebutuhan pangan warga dan kearifan lokal berjalan dengan stabil. Sagu dapat diolah dengan mudah. Udara dan air dengan kualitas bersih dan layak masih dengan mudah didapatkan. Belum lagi sumber pangan seperti ikan, sayur, dan lauk lain mudah untuk didapatkan di sungai dan laut.Â
Akan tetapi setelah perusahaan masuk semua bergeser, kehidupan masyarakat mulai cenderung acuh tak acuh, budaya gotong royong tak lagi ada, bahkan masyarakat cenderung hidup sendiri-sendiri seperti kultur sosal masyarakat yang hidup di daerah perkotaan.
Kini masyarakat seakan hidup menumpang di daerahnya sendiri, mereka tak lagi punya akses luas untuk dapat mencari sumber kehidupan dari bertaani dan menjadi nelayan di laut.Â
Warga masyarakat di Kepulauan Obi justru hidup bagai terkekang oleh aturan yang sebelumnya tak pernah ada dan bahkan mereka tak membuatnya. Hak hidup nyaman dan sehat yang harusnya mereka dapatkan kini tak lagi mereka dapatkan.Â
Kualitas udara dan air yang kian buruk, ekosistem laut dan darat yang semakin rusak, hingga perambahan hutan akibat konsesi yang diberikan besar-besaran oleh pemerintah demi mewujudkan ambisi agar dapat membuat baterai nikel sebagai bahan bakar pengganti untuk mobil listrik semakin tak tertahankan.
Semoga kehidupan masyarakat Obi di Kabupaten Halmahera dapat pulih, pemerintah kembali menata ulang kehidupan dengan perbaikan serta pemulihan ekosistem baik di laut dan di darat agar masyarakat tak harus mempertaruhkan kehidupannya dengan terus menghirup dan mengonsumsi polutan perusahaan.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H