Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mati Dua Kali

19 Juli 2024   22:32 Diperbarui: 19 Juli 2024   22:38 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pixabay.com

Hari ke tiga puluh satu, aku membayang kamu dari balik jeruji. Semua masih berwarna seputih dinding rumah sakit.

Hari itu masih pagi, aku belum mendengar suara kunci, tapi aku sudah berdiri di dingin  pramentari.

Aku membawakan breakfast kesukaanmu, roti kotak yang di dalamnya ada telur dan keju, sedikit saus tomat, pengejut lidahmu katamu saat di kunyah sarapan.

Jam enam aku boleh melalui lorong tembok yang melengkung yang bercahaya pucat,  di depan, aisle kamarmu masih tertutup, dan aku berdiri menyaku.
Sambil berpikir, hari inikah kau akan makan?

Lalu guardian membuka pintu gerai kamar-kamar yang bernomor, dia menarik lengan ku dan menyebutkan aturan pembesuk yang sangat sensitif, bibirnya bergerak rinci seperti sarjana hukum, dan aku taat.

Kemudian aku dilewatkan dan menghitung kamar sampai kamar ke lima, aku mematung lalu memegang bundaran pintu dan lenganku menyorong lembut.

Aku datang! Kataku lirih.
Dia duduk di kursi, merunduk dengan rambut basah dan tidak membuka suara.

Amber, aku membawamu toast!
Aku membuka kotak sandwich di atas mejanya, aroma gandum roti dan fermentasi susunya merebak.

Ini wangi menggiurkan, Amber! Kamu mesti mengunyahnya! Kataku.
Wajahnya memiring, matanya menatap kerat roti, aku menangkap sudut bibir yang menaik.

Baiklah! Dia menjawab redup. Tangan kurusnya menggapai roti dan mengunyahnya lamban.
Akhirnya kau mau makan, Amber! Ucap saya suka.

Buat apa kamu terus mendekati saya? Dia bertanya.
Aku nggak tau Amber!

Perempuan semampai itu tertawa, bergerak ke ranjang salnya. Dia melaju matanya keluar jendela besar.
Aku pernah hidup di luar sana! Desahnya.
Mmm... apakah kau akan mengulangnya, Amber? Sudahlah! Jawabku.

Aku kehilangan diriku di luar sana, Boi! Bukankah namamu Boi?
Ya, aku  Boi Kempos!

Kepalanya bergeming, Dia membuang mata indahnya ke dalam pagi yang jatuh samar di luar jauh.

Kau tau? Aku telah membunuhnya di luar sana, dan aku akan membunuhnya dua kali jika aku kembali ke sana! Lanjutnya, Perempuan itu tertawa.
Amber, please! Aku membujuknya.

Hei! Kau harus membantuku ke luar dari jeruji ini, Boi! Tiba-tiba dia berpaling dengan mata sorot
Tidak Amber!

Kau Harus! Amber menjerit, lengan keringnya mengunci kerah leherku, membikinku batuk sulit mengambil udara.
Baiklah! Balasku masih tercekik, lalu dia melepaskan genggam jarinya.

Aku mau kau membawaku ke luar malam ini, Boi Kempos! Amber mengancam, suaranya menggigil.
Baiklah! Kataku menyerah.

Kemudian dia melepaskan ku ke luar kamar rawatnya, wajah tirusnya yang masih tampak elok tetap mengawasi langkahku menuju pintu sal. Sementara aku mendengar suara Amber tertawa cekikikan bercampur tangisan.

Jantungku berdegup, bahwa cukup lama aku mengurusnya di rumah sakit batin ini, semenjak aku tanpa sengaja menemukannya sehabis beberapa tahun dia dinyatakan sakit.

Otak kepalaku mememori kembali, bahwa, pertama aku bertemu dengan Amber ketika dia menikah dengan sahabatku, selanjutnya gelap waktu berjalan kerna kami tak pernah jumpa semenjak itu.

Terakhir kali aku mendapat kabar Amber menembak mati suaminya kerna suaminya mendua hati, beselingkuh. Amber  tidak dinyatakan bersalah kerna mengalami goncangan depresi berat, dan dirawat di sebuah rumah sakit khusus ini. Sampai ku temui dia di sini tanpa sengaja.

Dan malam ini aku mempersiapkan diri untuk memakai seragam perawat rumah sakit sebagai kamuflase.
Tepat jam duabelas, aku berhasil membawa Amber menggunakan brangkar keluar rumah sakit besi itu.

Kemana? Aku bertanya saat gelap di perjalanan.
Kuburan! Jawab Amber beku.

Aku memacu kendaraanku menuju kuburan, menerabas masuk ke dalam dan berhenti di sisi makam suami Amber.
Dia sahabatku, Amber! Apa yang akan kau lakukan? Jelasku.

Tiba-tiba Amber mengeluarkan senjata tangan rakitan dari balik mantelnya dan mengarahklannya tepat ke hidungku.

Hei! Apa ini Amber? Aku terkejut.
Kau tak bisa menjaga istrimu, Boi! Amber menarik pelatuk gun itu dan. Dor!
Senjata itu menyalak, dan segera aku merasakan ketidakseimbangan.

Darimana kau mengetahuinya Amber...? Aku tak melanjutkan lidahku yang kaku,  kerna aku harus rubuh ke tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun