Saya pun menjangkau bentuk cincin lain yang tak lebih serupa, berukir nama pria berbeda, cincin platinum lembut bermata daimon, dan lagi tertampak beberapa cincin lain yang tidak hendak saya sentuh.
Dada saya sontak berdegup, memandangi cincin-cincin yang mirip dengan cincin yang saya bawa. Cincin-cincin dalam keranjang itu terlihat bercampur dengan benda-benda praktis lainnya, seakan cincin-cincin tersebut telah ditinggalkan dari masa lalunya yang sudah tidak dapat diakses lagi.
Saya pun jadi urung membaca majalah dan tak selera menggigit cake lumer di meja, saya meraba-raba cincin proposal saya untuk wanita saya ini di balik saku jas saya.
Tak lama perempuan pengurus rumah itu kembali nongol, dia berjingkat seperti malaikat.
Maafkan Tuan. Nona belum juga tiba, ya? Katanya.
Saya mengangguk kaku leher, dan terbata menanyakan siapakah gerangan pemilik cincin-cincin indah di keranjang itu. Tunjuk saja.
Cincin-cincin ini? Oh! Itu milik Nona anda, Tuan! Jawabnya.