Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kafe Ketiga

13 Juni 2024   15:44 Diperbarui: 13 Juni 2024   15:59 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah ketujuh kali menatapi paras kamu dalam tujuh malam tanpa putus. 

Di rimba musik yang dominan dari sekedar rumah makan dan kafe. Paras kamu ternyata memaksa saya untuk mengambil kursi yang sama, jam yang sama dan pandangan yang sama di dalam rumah kafe redup itu.

Dia wanita yang patah! Kata paramusaji di pinggir meja saya.
Saya menganggukkan leher, mencoba menelan yang tidak saya ketahui, mungkin soal kesedihan yang panjang.

Anda orang anyar di sini bukan?
Saya mengangguk.
Dan mata anda banyak mengirim pandang ke wajahnya selama tujuh malam berturut-turut! Lanjutnya.
Saya menghela napas untuk sesuatu yang mencampuri dalam dada saya.

Pergilah! Usir saya.
Pramukafe itu beringsut pelan, sembari mengucapkan kata lirih.
Kau tidak akan bisa mendekatinya. Perempuan itu sudah berbulan di sini, dia membawa kesedihan yang sangat batu!
Saya tak hirau dan meraih kopi lalu mereguk hangat. Masih pandangan saya tidak lepas dari perempuan itu.

Kini malam ketujuh saya terpantek di persoalan ini, memutuskan untuk mengakhiri kebuntuan dengan mendekati mejanya yang senyap.

Saya berniat duduk di sisi anda! Buka saya.
Dia menaikkan parasnya, sebentar dan kembali lagi membuang mata. Tak ada suara keluar dari bibirnya yang pucat.

Saya pun memutuskan mengambil duduk di sebelahnya.
Nama saya Jonikom! Kata saya.

Perempuan itu diam.
Saya memesankan kopi, dua gelas anda kerontang! Lanjut saya.

Perempuan itu beku dan mungkin benar dia batu. Satu pramukafe mendekat, di tangannnya kofi beruap putih, saya menyambutnya dan menaruhnya di dekat lengannya yang ramping.

Anda lelaki baru! Tiba-tiba dia berucap. Telapak tangannya yang putih bergerak mengatup di atas kofi seperti hendak memenjarakan asap.
Ah, ya. Maaf, saya terpaksa memperpanjang singgah di sini kerna tertarik kepada anda! Kata saya terang terus.

Wanita itu menoleh, paras jelitanya seringai.Tiba-tiba saja dia bangkit.
Aku akan berlalu! Tegasnya lalu menapak kaki jenjangnya.

Hei! Saya bereaksi cepat, meletakkan lima lembar ratusan di meja dan mengejarnya.
Tunggu!

Tapi wanita semampai itu melangkah segra, sayapun merapatinya hungga mencapai kotak parkir mobil, dia membuka ruang kemudi. Saya merangksek ke sisinya.

Mmm.. anda tidak mudah menyerah? Katanya.

Lalu dia menstart engine dan gas pol. Mobil tebalnya meraung melepaskan debu yang tersaru warna malam.
Saya ingin mengetahui diri nona! Kata saya di tengah ngebut.

Baiklah! Jawabnya tanpa longgarkan kemudi. Mobil berlari overspeed, sampai tak lama mendecit tiba-tiba, dan berhenti di depan sebuah kafe lainnya.

Lalu kami turun dan memasuki ruang kafe yang redup. Warung kopi itu mirip dengan kafe sebelumnya, ada musik gemulai dan sinar lampu underwatt.

Pengunjungnya hampir segalanya lelaki, mereka terlihat diam seperti seragam, beberapa tepekur menyanggah kepalanya seperti berat bila dibebaskan.

Perempuan tirus itu menjentikkan jari dan pelayan kafe membawa dua kopi tebal.
Ini kedua, dan ku harap tidak untuk yang ketiga! Katanya.
Apa?
Sehabis aku berlalu dari sini, kau tidak boleh lagi bersamaku! Terangnya.

Tidak! Saya akan mengikutimu sampai saya mengerti! kata saya butthead.
Begini! Aku perempuan patah. Jurang dalam hatiku tak akan pernah terisi, bekas luka ini tak ditakdirkan untuk sembuh, pergilah sebelum kafe ketiga! Jelas matanya tajam.

Nona! Saya akan melintasi jurang itu dan melapisi bekas luka kamu dengan salep cinta agar rasa sakit itu berakhir! Tegas saya nekat.

Sontak perempuan itu berdiri, lalu jalan melesat coba meninggalkan saya. Saya bereaksi kilat dan membuntut di belakangnya.
Hingga tiba di pintu kafe, seorang pengunjung pas  di tepi pintu, menghadang dan mencengkeram kuduk saya.

Hei! Teriak saya histeria. Tapi lengan lelaki besar itu begitu teguh membuat tubuh saya tergantung.
Dengar tuan! Aku bilang kau tidak pergi ke kafe ketiga! Lepaskan perempuan itu! Bentaknya.

Saya masih berontak meski lobet.
Hei tuan! Buka mata anda! Kau lihat semua lelaki yang duduk di dalam kafe ini! Lihat! Paksa lelaki penganggkat saya.

Saya membuka mata lebar dan memperhatikan satu persatu dari puluhan mereka. Wajah mereka terlihat putih beku, sinar matanya sayu satu pandang. Para lelaki itu tampak lunglai seperti tak bertulang, bertopang dagu dan sebagian meletakkan kepalanya di kayu meja. Ya, semua lelaki di kafe ini bengong, seragam seperti orang hilang harapan.

Apa ini? Tanya saya.
Para lelaki itu telah melewati kafe ketiga! Jawab lelaki gendut pencengkeram tengkuk saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun