Warung sop itu tidak pernah ada. Jadi ada belasan hari hanya satu-satunya gubuk makan itu berdiri. Penjualnya seorang perempuan usia menjelang enampuluh, tergaris di kulit parasnya. Rambutnya setengah putih di banyak seluruh keningnya.
Pinggiran sini sepi buk! Kata seorang lelaki pembeli pertama.
Pengolah sop hanya menaikkan kelopak mata tanpa senyum, kedua buah bibirnya lekat,
Kudu sabar niaga di sini! Lanjut pembeli perdana.
Wanita sop membuka panci larutan sopnya, asapnya menguar menyapu wewangian rempah.
Pembeli tunggal bangkit menghirup aroma.
Sop apakah ini? Dia bertanya.
Kaki! Jawab dingin perempuan sop itu. Dia mengunduh dagingnya dari kaleng terpisah ke dalam mangkuk kuah, lalu meletakkannya di meja pembeli.
Konsumen itu menatap hidangan berair didih itu, asap putihnya masih menari di pinggir mangkuk. Terlihat bening sehingga tampak daging-daging sop kaki di dalam kuah beningnya. Potongan daging  berkuah transparan itu kelihatan memerah menggugah selerah.
Lelaki penikmat mulai melahap sop kaki bersamaan dengan nasi terpisah. Enak skale! Begitu lembut dagingnya! Teriaknya dari dalam hati. Tanpa waktu panjang daging-daging membasah itu telah berjalan lewat kerongkongan masuk ke dalam perutnya.
Lezat skale ibuk! Daging-daging sop kakinya itu, begitu juisi! Katanya serampung gegares.
Berapakah saya harus membayar? Lanjutnya sembari mengeluarkan wallet.
Perempuan sop yang duduk tersudut kompor bangkit, langkahnya lamat bagai menyeret bobot. Di keremangan lampu warung, pembeli menampak kaki ibuk penjual sop, dan dia baru menyadari jika wanita baya itu kehilangan sebelah kakinya.
Maaf jadi berapa, Bu? Tanya pembeli bergetar iba.
Gangsalewu!
Heh? Untuk daging mewah seperti itu? 5000? Pembeli pria itu mendadak galau, tangannya segera menarik duit 50 ribu dari selipan.
Belum ada laku, denmas! Uang pas saja!
Tidak! Tidak! Ini harga yang pantas untuk daging sop kaki semaknyus ini! Tak perlu ada uang kembali, terimalah ibuk! Jelas pembeli.