Hari sudah senja, orang-orang berhenti bekerja. Aku keluar ruang dan menikmati pedestrian Slamet Riyadi yang tenang. Jalanan lebar terlihat memanjakan kendaraan arah tunggal.
Menanti jemputmu, aku duduk di kursi jalur lambat pepohonan. Masih beberapa menit dari ketibaanmu.
Udara sore terasa lega, masuk ke dalam paru-paru, menyenangkan lepas dari dinding kantor berpendingin yang sempit dibandingkan jalan segede ini.
Mungkin ini sebuah jalan yang terlalu besar buat kota sekecil ini, sehingga tampak dia seperti kantung yang sangat besar dari sebuah celana yang kecil.
Tepat waktu, sebuah sedan merah edisi akhir merapat curb stone jalan, aku melompat dan membuka pintunya dan kilat ku sudah berada di dalam vehicle sport itu.Â
Hai! Perempuan di kemudi menyapa. Bibirnya merah merekah.
Hai, Sarah! Balas ku.
Tak berbasi-basa, mobil kecil ber cc besar itu menggerung, melesat membelah jalan lebar Slamet Riyadi. Sarah begitu trampil menyetir, ku pikir dia bertalen menjadi seorang pebalap.
Tak lama, Sarah melepas pedal dan menikung ke dalam bangunan cepat saji.
Gue lapar! Sergahnya, mobilnya masih berdecit.
Lalu kami berjalan melepas kotak parkir, masuk ke ruang ramai berpendingin.Â
Sarah memesan burger cheese dan aku plain. Perempuan molek itu makan dengan lahap, sesekali mereguk kola, dia selalu tampak hype.
Aku akan ke Jerman! Katanya tiba-tiba.
Whats? Aku terhenyak.
Kenapa?
Bukankah kau akan menikah?
Aku putus!
Whats? Terhenyak kedua kali.
Ben punya perempuan lain!
Whats? Ketiga kali.
Perempuan indo itu membuang matanya ke kaca besar jalan, matanya berkaca.
Berapa lama kau di Jerman?
Entahlah!
Aku ikut membuang mataku ke seberang, menembus kaca cepat saji, aku seperti terseret ke balik sore yang turun di jalan Slamet Riyadi.
Mengulang memori lagi, bahwa aku dan Sarah telah bercerai cukup lama, namun seakan baru saja kemarin berpisah.
Bagaimana dengan Aurel? Aku bertanya.
Aurel itu putri tunggal kami. Meski dia tidak begitu lekat denganku, namun aku memiliki rasa yang identik dengan Aurel anak kami.
Aurel tumbuh demikian pesat dan pintar, kini dia menginjak kelas akhir sma. Aurel bertubuh semampai seperti mamanya, cantik dan chic. Tapi dia bejiwa sederhana seperti bapaknya.
Lamunanku ambyar ketika Sarah menyentuhku.
Dengarlah! Aku akan membawa Aurel!
Apa?
Dia akan kuliah di Jerman. Ku pikir di sana lebih baik! Argunya.
Aku menatapnya dan tak mengingkarinya. Bahwa kami dulu jatuh cinta saat berkuliah di Jerman dan bahkan menikah di sana setelah es dua. Aku lanjut se tiga, sedang Sarah bekerja bisnis sesuai pasionnya.
Sarah berkembang teramat cepat dan ketika kami pulang ke tanah air, Sarah melesat menjadi wanita bisnis yang bukan kaleng-kaleng. Sedang aku back to kandang, mengajar sesuai pasionku.
Sehingga semakin tahun berjalan, semakin kami berbeda dan menyerupai alien satu sama lain. Sampai suatu saat, dia mengatakan jatuh cinta kepada Ben, pengusaha papan atas, membuat kami berpisah baik-baik dan Aurel ikut dengan mamanya di ibukota sedang aku tetap di kota kecil ini.
Kau bisa ikut ke Jerman! Tawarnya tiba-tiba.
Tidak Sarah! Jawabku pelan.
Kau bisa ikut dengan ku! Aku akan memulai kembali mencintaimu! Katanya mengambil tanganku.
Aku mengelus tangannya.
Cintaku padamu masih kusimpan dengan baik Sarah, dan aku akan baik-baik saja! Jawabku.
Please! Aku sangat berharap! Desaknya sendu.
No, Sarah! Aku tak ingin berpisah dengan kota ini, dan  aku tak ingin kehilangan untuk kedua kali, kehilangan kau dan kota kecil ini. Kataku lirih.
Lalu kedua kami terdiam, memandangi sore yang perlahan menjatuhkan diri ke aspal jalan Slamet Riyadi pusat kota yang mulai menyalakan lampu-lampu jalanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H