Hari sudah senja, orang-orang berhenti bekerja. Aku keluar ruang dan menikmati pedestrian Slamet Riyadi yang tenang. Jalanan lebar terlihat memanjakan kendaraan arah tunggal.
Menanti jemputmu, aku duduk di kursi jalur lambat pepohonan. Masih beberapa menit dari ketibaanmu.
Udara sore terasa lega, masuk ke dalam paru-paru, menyenangkan lepas dari dinding kantor berpendingin yang sempit dibandingkan jalan segede ini.
Mungkin ini sebuah jalan yang terlalu besar buat kota sekecil ini, sehingga tampak dia seperti kantung yang sangat besar dari sebuah celana yang kecil.
Tepat waktu, sebuah sedan merah edisi akhir merapat curb stone jalan, aku melompat dan membuka pintunya dan kilat ku sudah berada di dalam vehicle sport itu.Â
Hai! Perempuan di kemudi menyapa. Bibirnya merah merekah.
Hai, Sarah! Balas ku.
Tak berbasi-basa, mobil kecil ber cc besar itu menggerung, melesat membelah jalan lebar Slamet Riyadi. Sarah begitu trampil menyetir, ku pikir dia bertalen menjadi seorang pebalap.
Tak lama, Sarah melepas pedal dan menikung ke dalam bangunan cepat saji.
Gue lapar! Sergahnya, mobilnya masih berdecit.
Lalu kami berjalan melepas kotak parkir, masuk ke ruang ramai berpendingin.Â
Sarah memesan burger cheese dan aku plain. Perempuan molek itu makan dengan lahap, sesekali mereguk kola, dia selalu tampak hype.