Tapi mesin vehicle itu sudah menderu. Luna memandangi, mobil ayah seperti barang rongsok, rangka depannya ringsek, rodanya bengkok, kaca-kacanya retak.
Tapi ayah tak terhentikan, ayah selalu ngebut!
Selepas suara ribut mobil ayah menghilang, Luna kembali ke kamarnya.Â
Jam tiga pagi, dia tak ingin lelap. Luna melanjutkan duduk di depan jendelanya. Hujan masih tebal, warnanya berkilat diaduk sinar lampu jalan. Â
Terlihat jauh, mobil-mobil satu dua berjalan kilat, pasti salah satunya ayah! Gumam Luna. Dia melamunkan ayah.
Senyum manis ayah yang gugup saban ayah berlari ke arahnya Luna merenung.
Apakah dia sudah merasakan kematian? Apakah artinya dia sudah menebak kematiannya? Luna masih merenung.
Luna yang memegang handfon, dia masih menunggu getar berikutnya, entah kapan.
Tidak ada yang diketahuinya untuk menjelaskan kunjungan berikutnya. Â
Tidak dapat dijelaskan, bahwa bahasa yang tercipta dapat menjadi sarana untuk membuat diri dan ayahnya lebih dekat. Untuk memungkinkan menyentuh satu sama lain, dan kemudian mundur menunggu jadual kunjungan berikut
Hingga mentari memutar cakrawala, Luna masih duduk di jendela, merapikan kekacauan kenangan yang harus ditanggungnya. Menanti jendela untuk duabelas kali getaran selulernya pada kunjungan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H