Buat Garuda Muda U23, hidup ini memang berat Lur, ketika Final AFF U23 2023, 26 Agustus lalu, sebelas anak-anak Garuda harus menghadapi tiga belas lawan di lapangan, yaitu sebelas muda Vietnam, plus 1 wasit, dan plus 1 hakim garis.
Sepertinya kekalahan adalah sebuah keniscayaan meski itu menyakitkan, tapi kekalahan melawan kekuasaan itu menyedihkan.
Wasit asal Jepang itu tampak lack di pitch laga final, dan itu menyedihkan, termortal di menit ke-108, saat Jeam Kelly Sroyer menerima umpan sundulan dari Ramadhan Santana.
Ia berada di posisi yang menguntungkan untuk langsung melaju ke kotak penalti. Namun, hakim garis menganggap Sroyer offside. Padahal dalam tayangan ulang, Sroyer masih berada di belakang pemain terakhir Vietnam di pertahanan yang berada agak jauh darinya.
Lainnya tidak kalah menyedihkan, adalah keputusan aneh penalti saat Dewangga divonis melakukan pelanggaran, padahal dari tayang ulang, penyerang no.15 Vietnam, Minh Quang sedang berdiving ria.Â
Juga tembakan Beckham Putra yang mengenai tangan gelandang no.16 Vietnam, Minh Khoa, di kotak penalti Vietnam, tidak ada penalti berkedip.
Beberapa lagi soal pelanggaran yang berat sebelah, sering ditimpakan kepada pasukan Garuda Muda. Sampai Shin Tae yong berkali-kali murka dan dia diacungkan kartu kuning oleh bapak wasit.
Pertempuran babak akhir Asia Tenggara ini terlihat haru biru di rumput hijau Stadion Rayong, Thailand, menguras tenaga dan menguras batin panjang selama 120 menit.
Menuju ujung batas kekuatan Garuda Muda, dalam ceruk kekalahan 5-6 hasil adu penalti, adalah sebuah mimpi pupus juara Piala AFF 2023.
Road to final AFF 2023 kala itu, bagi Skuad Garuda U23 menjadi perjalanan dari suatu harapan besar yang sudah terbangun dan tiba-tiba runtuh dramatis, sehingga terasa begitu sulit menerima kenyataan akan suatu kekalahan.
Baiklah. Pertandingan sepak bola adalah dua sisi mata uang, menang atau kalah, begitu sederhana. Namun tak sesederhana proses pencapaiannnya dan endurance sebuah kesebelasan, boro-boro membentuk skuad yang memiliki jati diri permainan.Â
Garuda tidak memiliki style permainan yang pageh, seperti Thailand atau Vietnam. Permainan Garuda mudah berubah-rubah seperti tidak memiliki fondasi, bisa macem-macem, bisa bermain cepat, lambat, satu-dua, long-ball, direct ball, gaya Brasil, Eropa, dan lain-lain.Â
Padahal menurut aku, pemain bola kita secara individu, sangat alamiah dan memiliki talenta kuat dengan skill hebat.
Namun entah kenapa secara tim, kesebelasan kita rentan performa, hari ini bermain jelek, besok bermain bagus. Setiap akan menghadapi suatu event pertandingan, selalu saja muncul keraguan, mainnya bagus apa jelek ya?
Aku pikir dari segala hal, faktor pelatih adalah dominan untuk menjadikan tim yang menangan atau kalahan.Â
Seperti aktual pada skuad Garuda U23 ini, Individu pemainnya keren, tapi ketika bermain sebelas, performa tim tidak selaras dengan kelas masing-masing pemain.Â
Aku pikir dalam hal ini, pelatih mesti bertanggung jawab, pelatih mesti jujur dan terbuka dan enggak terus mencari hal di luar dari kapabilitas tim.Â
Permainan taktik dan strategi Garuda selama ini boleh dikata tidak juga bergeser. Pelatih STY selalu membuat strategi misteri atau kejutan disaban laga, mungkin hanya itu yang tersisa dari semua hal yang menarik.
Tetapi jujurly, senjata rahasia STY di setiap laga, tetap saja akan bermuara pada performa dan hasil akhir dari permainan tim itu sendiri, apapun strateginya, apapun taktiknya.
Dan ternyata performa tim keseluruhan, belum bisa memenuhi harapan selama tiga tahun kepemimpinannya.
Dari laga final AFF U23 2023 minggu lalu, secara jujur kita mesti mengakui bahwa Vietnam bermain lebih baik dari Indonesia dan mereka layak untuk juara.
Vietnam bermain rapi dengan blue print taktik yang jelas tergambar di lapangan. Perubahan permainan Vietnam di babak kedua adalah gambaran jelas dari strategi pelatihnya setelah mengevaluasi permainan Garuda di lapangan.
Orang awam bisa dengan jelas mengikuti alur perubahan permainan Vietnam di lapangan, dengan permainan asimetrik flank kanan di kaki sayap luarnya Minh Quang (15) dan sayap dalamnya yang berbahaya, Quoc Viet (14).
Keduanya banyak menarik Dewangga dan sering menembus lapisan sayap luar Haykal, kedua orang Vietnam ini membaca banyak bolong sisi kanan Garuda akibat overlap atau transisi Dewangga dengan Haykal berjarak cukup lebar.
Ciri khas Vietnam dengan cut back ballnya yang menyasar pemain tengah atau gelandang mereka yang tiba tanpa terduga, tampak dimainkan dengan advance.
Ini salah satu saja notice, bahwa pelatih Vietnam memiliki strategi yang jelas dan dimengerti anak asuhannya.
Berbeda dengan pelatih Shin Tae-yong, yang menurunkan elevan starts dengan konsen pada dua pertiga kekuatan yaitu belakang dan tengah. Bermain mungkin dengan format 3-4-2-1 hybrid 4-1-4-1.
Memakai tiga bek terkuat Kadek-Ferrari-Dewangga. Sementara, Rifky Dwi dipasang sebagai gelandang bertahan yang juga berperan sebagai bek keempat temporer, dengan fungsi utama sebagai holding antara box to box , tengah dan belakang.
Gelandang empat terkuat juga disetel oleh, Robi Darwis, Arkhan, Rifky Dwi, dan Haykal di tengah. Sedang di depan STY mematok, Beckham, Ragil, dan Abdul Rahman.
Semacam ada keraguan untuk tidak langsung gas pol dengan memainkan Sananta dan Sroyer sejak awal. Aku tak tahu apakah strategi STY ini, agar tampak out of the box, atau secret weapon, atau gimmick saja.
Buat sebagian kita seperti sudah jadi terbiasa, terpukau, dan bertanya-tanya dengan rasa kagum, akan strategi rahasia yang sudah menjadi ciri khas STY di setiap menyambut laga krusial.
Atau bisa saja Shin Tae-yong ingin mengejutkan lawan dan mengecoh pelatih Vietnam dengan pasangan depan Indonesia yang bukan Sananta-Sroyer.
Aku engga tahu. Tapi tanpa Sananta dan Sroyer sejak menit awal, kita menyerang dengan gelandang Beckham dan Arkhan yang sudah overloaded di tengah dan belakang. Sedang striker Ragil bermain lembut seperti style Ronaldo Kwateh dalam menghadapi belakang Vietnam yang ganas..
Sehingga ketika Sananta dan Sroyer masuk di babak kedua, para gelandang kita sudah habis bensin, sehingga terlihat Sananta, Sroyer banyak nganggur.
Terkesan secara keseluruhan, skuad Garuda Muda memainkan strategi ekstrem seperti di atas, ini jelas memerlukan anak-anak yang soliditasnya merata. Aku pikir STY memainkan taktik yang beyond dari kapabilitas dan kemampuan dari para pemainnya.Â
STY terlihat tidak rendah hati dengan memainkan melebihi kemampuan pemain, sehingga kontra-produktif dan menjadi tidak maksimal dalam mengeksploitasi skill khas masing-masing pemain.
Sedemikian panjang sudah kepelatihan STY, bahwa seharusnya masalah ketimpangan wasit seperti dalam final AFF2023, sudahlah jauh terlampaui, bahwa itu bukan lagi persoalan penting yang bisa mengganggu persoalan mendasar dari skuad Garuda yang tidak memiliki level yang stabil.
Akhirnya, hal inilah yang hampir selalu memberi result absurd, bahwa setelah sekian lama ini, pelatih STY tidak pernah bertrofi.
Bahkan jika membandingkannya dengan coach Indra Sjafri, tanpa maksud hati untuk membanding-bandingkan, sungguh Lur!Â
Aku bisa melihat Sjafri lebih standar, bisa menggunakan keterbatasan menjadi kelebihan khas dari setiap pemainnya dengan relief yang merata, menjadi kekuatan yang padu, liat dan tidak rapuh.
Melihat STY ke depan dikancah Piala Asia 2023 nanti, mungkin saja tidak banyak mengubah style kepelatihannya, strategi, taktik dan kebatinannya yang sudah berjalan hampir tiga tahun selama ini.Â
Sementara dalam kualifikasi Piala Asia 2023 mendatang, timnas Garuda berada di dalam satu grup cukup maut bersama Jepang, Irak, dan Vietnam.
Meski demikian, tim tetap harus optimis, tapi itu emang berat kok Lur!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H