Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Membaca Koalisi Surya Paloh

6 Juli 2023   20:12 Diperbarui: 6 Juli 2023   20:31 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dan Surya Paloh (Foto Dok. Setpres BPMI) sumber: swara@barikade98.com

Koalisi kita adalah koalisi pembiaran, sebuah koalisi jomplang, koalisi terminal, koalisi cekak, suatu tatanan koalisi yang kelihatan demokratis tapi sebenarnya kolonisasi. Koalisi yang enggak pasti, seperti lotre menanti last minute. Koalisi kita pancen aneh.

Apakah tiga koalisi plus, yang sekarang ini mencerminkan anda sehat? Satu menghadap tiga. Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) seperti berhadapan dengan dua koalisi yaitu Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) plus satu kerjasama parpol PDI Perjuangan.

Pembentukan koalisi dan pengusungan calon presidennya, juga seperti duluan mana ayam apa telur, bebas wae. 

Akibatnya koalisi menjadi ngalor ngidul dengan istilah kerennya koalisi masih cair dan muncul hal yang kurang kerjaan seperti, satu putaran, dua putaran, dua poros, tiga poros, empat poros sangat membingungkan, tapi enggak tahu, mungkin mereka pikir, begitu itu keren.

Koalisi yang aneh, kemarin musuh sekarang teman, sekarang teman besok musuh, tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi, menjadi suatu ungkapan yang membanggakan yang sering keluar dari bibir-bibir politik. 

Mengatasi presidential threshold diatas 20% untuk tiga koalisi dan satu kerjasama PDI Perjuangan sudah terbentuk, lalu 3 bakal calon presiden juga sudah terdeklarasi dengan value elektabilitas yang bersaing dengan selisih dalam error margin.

Sebenarnya komposisi ideal di atas adalah  masa depan demokrasi, tapi ketika di feedback dengan kekuatan koalisi eksisting, keseimbangan koalisi yang sudah terbentuk menjadi overthinking, ada seperti  ketakutan yang belum kejadian ke depan.

Pengaruh kuat tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja presiden Jokowi yang bisa mencapai 80%, menjadi begitu dominan terhadap pemilihan presiden ke 2024. Jadi begitu-begitu amat, bahwa itu memang hal yang natural setiap presiden memiliki signature sendiri-sendiri.

Dagangan survei kepuasan ditambah amplifikasi dari kelompok relawan Jokowi menjadi suatu kekuatan yang aneh yang masuk ke dalam perpolitikan pilpres 2024. 

Seharusnya survei kepuasan Jokowi sudah memasuki masa persiapan pensiun dan relawan Jokowi adalah bagian masa lalu, harus ada yang berani speak up bahwa relawan Jokowi itu enggak logis dan harus rela bahwa relawan Jokowi sudah selesai dan tidak menjadi post relawan syndrom. 

Saya pikir juga, penggunaan kekuatan seperti ini tidaklah fair, baik secara sengaja atau tidak, mempengaruhi atau pressing langsung maupun tak langsung terhadap kelembaman koalisi dan bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden.

Pabrik survei juga harus menghentikan survei kepuasan ini untuk tidak demikian masif, cukup untuk keperluan pemerintahan on going saja, ndak usah di panjang-panjangin menjadi dongkrak elektabilitas. 

Kalo tingkat kepuasan Jokowi naik, maka elektabilitas bacapres Anies turun, elektabilitas bacapres Ganjar naik dan elektabilitas bacapres Prabowo lebih naik karena sedang dekat dengan Jokowi. Ini norce banget, dan selinier gitu, meski berdata, tapi kebetulan aja dimana masih banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi.

Yang sedikit mengherankan adalah kenapa tidak ada parpol atau koalisi di luar koalisi Perubahan yang mendekat ke koalisi Perubahan, paling hanya sebatas gimmick dan pheripheral. 

Platform yang diusung Koalisi Demokrat, PKS dan Nasdem ini bisa dikatakan lebih lengkap yaitu perubahan untuk persatuan, ketimbang platform dari KIB, KKIR atau PDI Perjuangan yang normatif dan tidak ada yang baru yaitu mengawal pemerintahan dan memperlancar transisi pemerintahan kelak atau status quo.

Logika di kepala saya, kenapa dinamika koalisi hanya terjadi di seputaran partai pendukung kabinet Jokowi 2023, tapi tidak menyentuh koalisi perubahan, padahal visi perubahan kan seharusnya lebih kaya akan perspektif, ketimbang sebuah status quo. 

Tidak ada yang perlu ditakutkan perihal perubahan. Nothing endures but change, tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri (Heraclitus).

Jika parpol begitu terbuka, maka difusi parpol akan bergerak ke konsentrasi yang lebih sedikit seperti hukum fisika. 

Tanpa prejudice, saya pikir Surya Paloh telah memulainya atas kemuliaan hukum alam ini, yang melakukan pertama dalam memilih bakal calon presidennya dan membentuk koalisi dari  dua partai oposisi PKS dan Demokrat dengan satu partai posisinya sendiri yaitu Nasdem.

Lalu tiba-tiba menjadi distract, sebagai partai politik pendukung kabinet Jokowi bos Paloh dimainkan sebagai berkaki dua, sehingga koalisi menjadi sesuatu yang bisa di belah ketika masuk ke dalam pemerintahan.

Padahal enggak ada hubungan koalisi dengan mekanisme partai pendukung Jokowi, kecuali gerbong koalisi di masukan ke ruang istana pemerintahan.

Bang Surya sebenarnya telah memulai blending over the limit meski beresiko terhadap NasDem sebagai partai pendukung pemerintah, yaitu membentuk koalisi dengan PKS dengan ideologi Islamisme, sementara NasDem dan Demokrat dengan nasionalisme, lalu memilih "freeman" atau non partai person, Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden.

Mungkin Nasdem coba merelief suatu gap yang seharusnya bukanlah sebuah gap melainkan kemitraan, namun ada tembok dengan platform berbeda mengapa terhalang berkoalisi. 

Mungkin saja dia memperkenalkan gaya baru politik yang telah terlalu lama membelah yang akan bisa menjadi darah daging atau patron, jika tidak melakukan sesuatu terhadapnya.

Tapi sayang imaji koalisi besar, koalisi kecil yang terbentuk malah semakin mengecilkan arti partai politik ansich yang hanya mereduksinya berdasarkan ukuran, bukan nilainya.

Barangkali belum saatnya langkah bang Surya untuk suatu transformasi partai politik ke dalam koalisi menjadi lebih modern, agar partai politik terbebas dari politik kuno transaksi, dagang sapi atau dinasti, melainkan partai politik bisa berkembang bebas dari dalam jati dirinya sendiri bukan partai politik dengan koalisi kardus.

Iya enggak sih?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun