Di satu aspal yang basah, siapa yang menggambar parasmu dan itu sehabis hujan saat lampu-lampu baru saja pudar. Saya menumpak motor di jalan sunyi, cuman itu yang saya kenang, selebihnya hanya garis-garis hujan.
Ini hari ketujuh sehabis jatuh, mengambil motor yang rusak dan melaju lagi. Saya tak bertujuan, hanya menarik putaran gas pol, namun berkahir di jalan yang sama.
Akhirnya saya duduk di pinggir, mengikuti gambar wajahmu dari bekas hujan di aspal jalan.
Waktu itu pukul duabelas malam. Ketika seorang perempuan entah dari sudut mana, tiba-tiba mengambil duduk di samping saya.
Aku mau melukis lelaki saya! katanya. Saya mencari parasnya tapi blur, cuman tubuhnya beraroma harum.
Silakan! Jawabku. Lalu turun hujan kecil dan gambar perempuanku di aspal memudar berganti raut seorang pemuda.
Siapa?
Pacarku! Katanya.
Keren!
Hmmm...
Sudah berapa lama? Tanyanya
Aku? Tujuh hari! Sahut saya.
Kau?
Tujuh tahun! Katanya.
Jatuh juga?
Hmmm..
Perempuan bercelana kulit itu tiba-tiba berdiri meraih helmet dan mengangkat sepeda motor saya.Â
Aku pinjam! Katanya.
Motormu?
Hancur!
Lalu dia ngegas keras dan melesat seperti bayang. Tak lama derunya terdengar kembali dan dia berdecit  di muka saya, sementara jaket kulitnya menyisakan kibar.
Motor anda lambat, berbahaya saat lowside! Sergahnya sembari melepas helmet.
Saya tertegun dan mengingat di akhir sudut saya yang tigapuluh derajat lalu crash dan gelap.
Kau pikir?
Ya, tentu saja! Motormu payah, biar aku memperbaikinya nanti! Kata perempuan itu berkacak pinggang, rambut indahnya berderai.
Kini saya bisa menatapnya jelas, ternyata dia seorang perempuan yang cantik kontras dengan dunia speed.
Lalu dia kembali duduk di sisi saya sambil menyalakan rokok, sementara gerimis mereda menyisakan basah aspal yang masih berisi gambar pemudanya. Perempuan itu memandang kosong ke gambar di aspal yang mulai pudar.
Waktu itu masih tersisa banyak waktu untuk kami berbincang soal kecepatan, mesin dan roda basah. Saya merasa begitu cucok dengan cara dia bertutur tentang pesona adrenalin di jalan trek. Hingga tiba di bibir  indahnya yang krusial tentang kehilangannya. Dan saya merasa setimpal dengan rasa ujung saya, tentang kepergian yang serupa.
Waktu itu aku terlalu cepat! Katanya lirih.
Ya, aku pikir aku juga terlalu miring! Kata saya.
Segera kami menengadah mengukur langit, bahwa sekejap akan turun garis-garis matahari. Dan seperti sehati kami bangkit bersama-sama.Â
Perempuan indah itu kembali mengangkat motor saya dan menghentak putaran gas sehingga suaranya pekak. Dia memberi tanda untuk saya membonceng dan saya mengikuti perintahnya, duduk di belakangnya.
Kau mesti memeluk ku erat! Kita tidak mau mati dua kali bukan? Teriaknya saat roda melesat.
Saya mematuhi perintahnya, memeluk tubuh rampingnya, dan saya merasa nyaman saat moto mencapai top speed. Â Begitu tenangnya sehingga tanpa lagi rasa takut mati, untuk kedua kali.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H