Lalu dia ngegas keras dan melesat seperti bayang. Tak lama derunya terdengar kembali dan dia berdecit  di muka saya, sementara jaket kulitnya menyisakan kibar.
Motor anda lambat, berbahaya saat lowside! Sergahnya sembari melepas helmet.
Saya tertegun dan mengingat di akhir sudut saya yang tigapuluh derajat lalu crash dan gelap.
Kau pikir?
Ya, tentu saja! Motormu payah, biar aku memperbaikinya nanti! Kata perempuan itu berkacak pinggang, rambut indahnya berderai.
Kini saya bisa menatapnya jelas, ternyata dia seorang perempuan yang cantik kontras dengan dunia speed.
Lalu dia kembali duduk di sisi saya sambil menyalakan rokok, sementara gerimis mereda menyisakan basah aspal yang masih berisi gambar pemudanya. Perempuan itu memandang kosong ke gambar di aspal yang mulai pudar.
Waktu itu masih tersisa banyak waktu untuk kami berbincang soal kecepatan, mesin dan roda basah. Saya merasa begitu cucok dengan cara dia bertutur tentang pesona adrenalin di jalan trek. Hingga tiba di bibir  indahnya yang krusial tentang kehilangannya. Dan saya merasa setimpal dengan rasa ujung saya, tentang kepergian yang serupa.
Waktu itu aku terlalu cepat! Katanya lirih.
Ya, aku pikir aku juga terlalu miring! Kata saya.
Segera kami menengadah mengukur langit, bahwa sekejap akan turun garis-garis matahari. Dan seperti sehati kami bangkit bersama-sama.Â
Perempuan indah itu kembali mengangkat motor saya dan menghentak putaran gas sehingga suaranya pekak. Dia memberi tanda untuk saya membonceng dan saya mengikuti perintahnya, duduk di belakangnya.
Kau mesti memeluk ku erat! Kita tidak mau mati dua kali bukan? Teriaknya saat roda melesat.
Saya mematuhi perintahnya, memeluk tubuh rampingnya, dan saya merasa nyaman saat moto mencapai top speed. Â Begitu tenangnya sehingga tanpa lagi rasa takut mati, untuk kedua kali.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H