Angel sangat menyukai malam. Kenapa? Tanya saya. Ujung bibirnya terangkat, Angel senyum manis, barangkali yang termanis. Kenapa kau tanyakan? Jawabnya bertanya.
Tentu saja, saya tak tau semenjak kapan? Balas saya, kerna saya mengenal perempuan kurus ini memang sudah demikian adanya.
Baiklah! Aku menyukai malam kerna aku suka berjalan melewati jendela-jendela mereka!
Maksudmu?
Aku bisa mendengar bahkan membayangkan di setiap jengkal suara di dalam rumah penghuninya!
Hanya itu?
Angel kembali terkulum, bibir merahnya merekah di wajahnya yang salju. Dan saya enggan untuk lebih mencampuri urusannya, meskipun masih kepo dengan apa yang dikerjakannya di saban malam.
Hingga di satu malam yang telah pekat, saya berjumpa dengan Angle, di pedestrian panjang menyusur deretan rumah-rumah besar. Saya tau itu Angel dengan gaya berjalan pelan dan lembut seperti mengapung.
Angel! Saya memanggilnya. Dia berbalik menoleh. Ssst..! Katanya sembari menempelkan jari ke bibir.
Saya berjingkat mendekat, tetapi sepertinya dia tak menghendaki keberadaan saya. Kau menjauhlah! Bisiknya.
Maaf Angel, eehh...saya sedang tidak baik-baik saja! Biarkan saya mengikutimu! Jawab saya.
Ah! Kau separuh mabuk! Katanya. Saya mengangguk sedikit terhuyung.
Tolonglah! Paling tidak biarkanlah saya bersamamu! Desak saya.
Perempuan itu lama menatap saya. Oke, sekali ini saja! Dan anda harus menutup mulut anda! Perintahnya.
Siap! Kata saya masih bergoyang.
Saya pun mengikuti di belakangnya, Â berjalan dari pintu ke pintu, dari satu jendela kesatu jendela, di dalam kesesakkan malam.
Hingga Angel berhenti di satu jendela rumah yang besar dan dirinya mematung, sehimgga kami bisa mendengar suara lembut keluar dari kisi jendela, nada suara orang yang berserah dan berdoa. Angel menekuni beberapa lama dan bicara sendiri.
Rumah ini berisi keluarga yang berharapan, penuh cinta dan ketika muda dan kesehatan berlalu mereka menerima apa yang seharusnya! Katanya hampir sepi diseling oleh bunyi tangisan dari rumah yang sedang meneteskan air mata.
Aku akan membawanya! Kata Angel memasuki rumah itu. Dan tak lama dia keluar rumah menggandeng seorang tua yang wajahnya bersinar.
Angel, kau....! Saya tak meneruskan kata, saya merasa begitu goyah karena mabuk. Angel dan kakek itu berdampingan meneruskan langkahnya, kembali menyusuri di jalur deretan rumah-rumah. Saya masih mengikuti dengan tubuh saya yang semakin goyah.
***
Saat pagi menjemput, saya mendapati diri saya terlelap di dipan kayu entah dimana. Saya melangkah keluar kamar dan mendapati ruang yang pernah mengendap jauh di dalam kepala saya.
Bukankah saya pernah melarikan diri dari rumah ini? Kepala pusing saya mulai meremind.
Kau sudah terjaga nak? Seorang ibu tua hadir di ruang famili. Kepala saya semakin bobot untuk meyakinkan bahwa itu kah ibu?
Benar nak aku ibumu! Kata ibu baya itu. Saya ragu, flashback saya begitu blur sebab semenjak kecil saya hidup di panti. Saya merunduk dan memeluknya, kami berdua sesenggukan menangisi masa silam.
Ayah?
Ibu bungkam, kelopak tua matanya memerah. Dia menarik lengan saya ke sebuah kamar yang berbau kuno dan di atas dipan seorang lelaki tua terbujur parah dengan napas satu-dua. Saya menyentuhnya tetapi lelaki tulang itu sudah membeku matanya terbuka ke arah langit-langit.
Ayah telah lama stroke, nak! Lirih ibu. Saya memandang lelaki tipis itu dengan iba walau saya tak mengenalnya lagi.
Saya hanya mengenali rasa sakit tak hingga ketika lelaki dewasa di dalam rumah memukuli saya dan mengurung saya yang sudah berwarna lebam dan berdarah.
Idem dengan ibu yang selalu membiru di parasnya. Dan itu berlangsung panjang, sampai ibu melarikanku ke panti.
Apakah itu berlanjut sejak ibu sendiri? Saya begitu jerih bertanya. Masih! Jawab ibu.
Saya merasa sesak dengan kenangan di rumah ini meskipun harapan berlalu dan kedamaian juga berlalu.
Rumah dengan sejarah panjang dimana cinta yang sangat sedikit, orang-orang di dalam rumah meneteskan air mata pada roti pahit mereka. Ada yang sampai tua dan gila dan sakit di tempat tidur.
Rumah yang malang! Kata saya berbisik.
Saya kembali menatap lelaki batu di hadapan saya yang hampir tertinggal udara nafas dan masih berkepanjangan entah sampai kapan.
Seharusnya lelaki ini sudah tiba! Kata saya ke ibu.
Entahlah nak! Dia sudah melewatinya bertahun seperti tanpa keputusan! Jawab ibu.
Saya akan coba menemuinya lagi, mak! Kata saya.
Mmm..! Ibu menggumam pesimistis
Ketika malam menjelang, saya memakai jaket dan bersiap pergi.
Saya berangkat mak! Kata saya melirik jam dinding di angka 12. Ibu hanya mengangguk.
Sekeluar pintu rumah saya berlari, hanya satu tujuan saya, yaitu menemui Angel. Saya menyusuri jalan pedestrian rumah-rumah, dimana perempuan itu biasa menyusuri malam, saya merasa ada penuh  kecewa dan marah kepada perempuan itu, membuat lari saya semakin kilat.
Sampai akhirnya saya menemukan Angel yang berjalan perlahan, sesekali dia berhenti di pinggir jendela.
Angel! Saya berteriak. Dia menoleh dan menghentikan kakinya. Saya mendekat dengan dada ngos-ngosan.
Kau harus kembali, Angel! Hentak saya. Dia menatap tubuh saya, senyum rekahnya masih tampak melekat.
Bukankah aku tidak bisa memutar jalan kembali? Jawabnya sinis.
Bagaimana mungkin Angel! Seharusnya kau sudah berkali-kali melewati rumahku. Bukankah? Kata saya bernafsu. Kau hanya lewat dan kau tak membawanya serta! Bagaimana mungkin Angel! Tuduh saya emosional.
Angel memegang bahu saya, matanya dingin dan sunyi.
Benar aku selalu melewati rumah itu. Tapi aku selalu mendengar kehilangan harapan, isak tangis dan siksa yang tak kunjung reda di sana. Hingga cinta dan harapan menghilang sejak silam sampai menua! Kata Angel lembut.
Saya memandangnya lemas.
Please Angel, kumohon, kau bisa membawanya! Pinta saya memelas. Tapi Angel menggeleng.
Rumah yang malang! Dia bahkan tidak pernah hidup. Aku tak akan membawanya, dia bisa menunggu untuk mati! Kata Angel berbalik meninggalkan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H