Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah yang Malang

28 Mei 2023   20:27 Diperbarui: 28 Mei 2023   20:30 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Saat pagi menjemput, saya mendapati diri saya terlelap di dipan kayu entah dimana. Saya melangkah keluar kamar dan mendapati ruang yang pernah mengendap jauh di dalam kepala saya.

Bukankah saya pernah melarikan diri dari rumah ini? Kepala pusing saya mulai meremind.
Kau sudah terjaga nak? Seorang ibu tua hadir di ruang famili. Kepala saya semakin bobot untuk meyakinkan bahwa itu kah ibu?

Benar nak aku ibumu! Kata ibu baya itu. Saya ragu, flashback saya begitu blur sebab semenjak kecil saya hidup di panti. Saya merunduk dan memeluknya, kami berdua sesenggukan menangisi masa silam.

Ayah?
Ibu bungkam, kelopak tua matanya memerah. Dia menarik lengan saya ke sebuah kamar yang berbau kuno dan di atas dipan seorang lelaki tua terbujur parah dengan napas satu-dua. Saya menyentuhnya tetapi lelaki tulang itu sudah membeku matanya terbuka ke arah langit-langit.

Ayah telah lama stroke, nak! Lirih ibu. Saya memandang lelaki tipis itu dengan iba walau saya tak mengenalnya lagi.
Saya hanya mengenali rasa sakit tak hingga ketika lelaki dewasa di dalam rumah memukuli saya dan mengurung saya yang sudah berwarna lebam dan berdarah.
Idem dengan ibu yang selalu membiru di parasnya. Dan itu berlangsung panjang, sampai ibu melarikanku ke panti.

Apakah itu berlanjut sejak ibu sendiri? Saya begitu jerih bertanya. Masih! Jawab ibu.
Saya merasa sesak dengan kenangan di rumah ini meskipun harapan berlalu dan kedamaian juga berlalu.

Rumah dengan sejarah panjang dimana cinta yang sangat sedikit, orang-orang di dalam rumah meneteskan air mata pada roti pahit mereka. Ada yang sampai tua dan gila dan sakit di tempat tidur.

Rumah yang malang! Kata saya berbisik.
Saya kembali menatap lelaki batu di hadapan saya yang hampir tertinggal udara nafas dan masih berkepanjangan entah sampai kapan.

Seharusnya lelaki ini sudah tiba! Kata saya ke ibu.
Entahlah nak! Dia sudah melewatinya bertahun seperti tanpa keputusan! Jawab ibu.
Saya akan coba menemuinya lagi, mak! Kata saya.
Mmm..! Ibu menggumam pesimistis

Ketika malam menjelang, saya memakai jaket dan bersiap pergi.
Saya berangkat mak! Kata saya melirik jam dinding di angka 12. Ibu hanya mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun