Dan benar, saat tiba tujuan dan melangkah turun, saya mencegatnya dan menyapanya.
Hai! Sapa saya.
Ya? Jawabnya polos.
Ah, maaf. Saya ingin mengenal kamu. Eh, saya pikir setelah sekian lama kita dalam bus pulang yang sama dan hanya bisa berpandangan selama ini! Ucap saya patah.
Dia terdiam menatap saya, satu lengannya terangkat lalu menutup bibirnya, wajahnya beku.
Maksudnya, kita selalu bertatap mata selama perjalanan pulang sekolah? Tanyanya.
Ya, tentu saja! Jawab saya gamang. Tampak dia merenung jauh.
Jadi kamukah...yang sering diceritakan kakak? Akhirnya keluar suaranya pelan, dan tampak kedua matanya seketika berembun.
Ah, maaf. Saya kurang mengerti.. Kata saya.
Kita berbicara di sana, ya kak? Dia menunjuk kantin mungil dekat halte kecil kami.
Oke! Saya mengiyakan sedikit heran.
Tba di kantin mungil yang sejuk kami duduk berhadapan, terlihat wajahnya mendung dan lama terbeku. Saya menanti bicaranya sebebas waktunya.
Lalu hampir tak terdengar dia bercerita. Bahwa dia yakin, bahwa yang selama ini bertatap mata dengan saya adalah kakaknya. Memang dia dan kakaknya memiliki paras yang mirip.
Dia sering cerita tentang cowok yang selalu memandangnya di dalam bus sepulang kelas, begitu lama, dan dia selalu berharap kakak memulainya, tapi sekian waktu, kakak tak pernah bahkan menyapanya. Kata sang adik di hadapan saya, sementara saya menantinya dengan hati teguh.
Hingga hari terakhirnya dia masih cerita bahwa bus sekolah itu satu-satunya hal yang terindah dalam hidupnya, dan sebenarnya dia punya kanker, dan minggu lalu dia meninggal...Sang adik memutus kisahnya dengan air mata mengalir.
Saya beku dan mata saya basah, ingin saya segera pulang menemui ibu saya di rumah, ibu saya yang juga tahu tentang cerita rasa cinta saya yang paling awal di sepanjang perjalanan bus pulang kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H