Dan kita berpandangan lagi di di dalam bus, hanya mata, beberapa detik lalu putus lagi. Kamu menebar pandang  ke kaca jendela, meski saya masih di alur mata yang sama.
Bus berjalan terus tanpa macet, hanya mengambil penumpang di tiap halte meski bus telah sarat. Waktu bus yang panjang itu berisi empat sampai lima kali kita berpandangan. Sampai tiba di akhir perjalanan,
Saya turun lebih dahulu dan berpura berdiri di warung rokok tapi sudut pandang saya, bisa mengawasimu melangkah turun dan berjalan menuju becak langgananmu. Terlihat kamu mencari-cari pandang dan saya beranjak sehingga tatapan kita bersatu kembali.
 Ada sekilas tipis senyum, sebelum kamu berpaling arah dan saya tidak berbuat apa-apa, hanya berjanji lagi, esok saya akan mengatakannya. Dan saya pun melangkah menuju rumah yang tak begitu berjarak dari halte kecil.
Tapi janji hanyalah janji, saya belum berani menyapanya, hingga waktu berbulan berlaku. Kita tetap saja masih berpandangan di sepanjang perjalanan, tidak bebicara atau sapa, hanya mata.
***
Sampai di satu titik jeda, saya tak lagi menemukanmu di dalam bus pulang, sudah berpuluh hari saya menelan waktu di terminal lapangan banteng yang terik menunggu kamu, tapi sepi.
Saya menghitung, hari ini hari keempat puluh saya kehilangan kamu, saya masih berharap meski seperti musnah di dalam sesaknya bus yang mulai membosankan.
Kemana kamu? Saya tiba-tiba merana kehilangan, menyesali mengapa tidak kunjung menyapa selama ini, saya merasa menjadi manusia bodoh.
Hari ini saya pulang sekolah dengan rasa paling malas, mencapai terminal lapangan Banteng, saya hanya memandang lajur bus kita berdua tiba, dan lalu menyambutnya segan. Naik terakhir enggan berebutan kursi membikin saya berdiri di aisle.
Dengan asa kecil saya menyapu tatap semisalnya kamu di sini, dan ya Tuhan! Saya melihatmu di kursi paling akhir. Saya senang alang kepalang, dan berusaha tak lepas pandang, hingga mata indahmu menemukan jalan mata saya dan kita bertemu lagi.Â
Tapi begitu ringkas mata itu selesai, seperti tak pernah ada. Berkali-kali saya mengambil pandang, hanya sekali lagi saja kamu mengambilnya, itupun hanya satu detik, setelah itu lenyap.Â
Wajah kamu lebih banyak di tempatkan pada pandangan kaca jendela. Saya menatap parasmu memang sedikit berbeda, rambutmu kamu potong sebahu, meski kecantikanmu tetap saja tak berpaling.
Perjalan bus pulang terasa cepat, dan saya telah mengambil keputusan kuat untuk menyapa kamu kali ini, tak bisa lagi ditunda.
Kamu harus berani, demi perempuan indah ini dengan cinta yang paling awal! Kata hati saya.