Permainan gaya liga bukan gaya Shin Tae-yong, sebuah permainan yang berbeda 180 derajat dengan gaya permainan PSSI muda U20 atau 16 yang lebih muda yang memiliki pakem olahan kombinasi bola posesif dan  kerangka persegi, pemain berdekatan dan passing satu-dua sehingga tidak banyak kehilangan bola, sehingga diluar kalah menang timnas muda Garuda menjadi lebih menarik dan bergairah untuk disaksikan, ketimbang Timnas tua yang bertanding kemarin melawan kesebelasan Burundi.
Apakah pelatih Shin menyerahkan prinsip sepakbolanya mengikuti saja gaya eksisting sepakbola BRI Liga 1 demi pragmatisme? Jika yes, sangat disayangkan ya. Artinya Timnas tidak berprogress, permainan Timnas jadi auto Liga yang jenuh.Â
Memang kemenangan 3-1 atas tim Burundi melegakan tapi menurut saya enggak membanggakan. Sepakbola jarak jauh umpan panjang dan crossing masih mendominasi sepakbola praktis yang membosankan, meskipun beberapa kesempatan diperlakukan build-up tapi begitu miskin, hanya satu dimensi di satu jalur flank terutama sisi kanan jalur Arhan-Lilipaly.Â
Meski menang dengan tiga gol, tapi gol yang terjadi bukan hasil engineering satu tim box-to-box, padahal gaya main btb ini seperti sudah hampir menjadi habitat timnas muda kita menjadi keren.
Goal pertama bisa dikatakan memang kejelian seorang Sayuri dan akurasi Lilipaly, tapi itu adalah sangat individu. Selain barisan pertahanan Burundi terjadi lacking yang bermula dari center back Burundi Marco melakukan clearance ceroboh yang jatuh di kaki Marc Klok yang diteruskan ke Lilipaly, lalu dia crossing ke kepala Yasuri yang menyelinap sendirian melewati gelandang bertahan Styve.Â
Jika saat itu tidak ada Sayuri disana, maka umpan Lilipaly hanya menjadi umpan kosong karena tidak ada pemain Indonesia disana, untung ada Sayuri satu-satunya. Artinya jeda atau pace antara Sayuri dan second liner demikian jauh atau hanya ruang kosong.
Gol kedua yang ditendang oleh striker Dendy juga hasil dari screamage di kotak kiper Burundi, proses gol bukan hasil dari rekayasa penyerangan yang terstruktur.
Sama halnya dengan gol ketiga yang di volley oleh center back Rizky Ridho, merupakan bola muntah dari kesalahan kiper Burundi bermula dari tendangan pojok kanan.
Pengharapan kepada bola mati seperti menjadi highlight pencarian gol bagi timnas dan pelatih Shin, baik dari corner kick, tendangan bebas atau lemparan Arhan. Semua bermain mudah ketika bola mati, menjurus ke kotak penalti lawan, hampir seluruh pemain Indonesia akan berkerumun didepan mistar Burundi untuk mencetak angka.
Tidak buruk memang, tapi kesebelasan Timnas senior ini enggak berproses menjadi kesebelasan yang terstruktur, masif dan sistematis, Timnas baru menjadi sebuah kesebelasan tempelan dari klub yang bermain seperti klub, tidak terlihat cetak biru dari pelatih Shin untuk menghapus bermain gaya klub, sebagaimana yang telah tampak di tim Garuda-Garuda Muda.
Pola penyerangan yang tanggung dan pertahanan yang berlebih merupakan ciri khas kesebelasan yang tidak balance, ini yang terlihat dari perform Timnas gaek kita.Â
Tidak seperti timnas Burundi, meskipun kalah, tapi memperlihatkan kongkrit akan  pola formasi yang disiplin 4-3-3, box to box yang signifikan, baik pada saat naik atau turun, sehingga enak dipandang.Â
Kesebelasan Burundi bermain memang bergaya Britain dengan keseimbangan yang baik. Semua sel berlaku baik, sehingga penyerangan mereka terstruktur dengan disiplin posisi yang menandakan konsistensi dan kompetensi pelatih mereka akan suatu permainan bola yang bukan tambal sulam dan taktik yang sering berubah enggak jelas seperti Timnas kita.Â
Tampak Timnas Burundi menunjukkan bekas-bekas sebuah kesebelasan yang berkelas, hanya mungkin mereka sedang dalam masa surut entah kurang berlatih, entah program peremajaannya, kurang tau deh. Tapi yang jelas mereka beruntung sudah memiliki alur yang benar dalam permainan timnas mereka, sementara kita masih mencari jati diri dengan permainan yang setiap hari berobah seperti cuaca.
Dari sini, mungkin ada baiknya kepelatihan Timnas dievaluasi oleh tim strategi PSSI dengan referensi metoda pelatih-pelatih standar dan kontemporer seiring perkembangan sepakbola modern, sehingga tidak terpaku kepada seorang pelatih atau tujuan kemenangan samata.
Di stadion Candrabhaga terlihat para penonton bergembira dan bertepuk kedua belah tangan termasuk sang ketua PSSI Erick Tohir yang hadir menyaksikan Matchday, juga terlihat wanita Tsamara  dengan senyum menawan di level kedua bangku kehormatan.
Meskipun menurut saya, kemenangan ini terasa hambar dengan senyum keterpaksaan, bahwa gambaran di lapangan bermain Timnas Indonesia tidak ada progress, tidak berproses dan enggak jelas. Hanya blink-blink, pemain naturalisasi seperti Jordi Amat, Klok, Balgott, Stefano dan beberapa lagi yang menjelang dan menyita harapan kemenangan semata.
Entah nanti pada pertandingan balasan Burundi vs Indonesia, apakah mungkin dalam permainan Timnas senior ini terjadi proses menjadi tim sepakbola yang benar ataukah tetap kembali ke style liga-1 Indonesia, yang notabene hanya semata-mata kepraktisan sang pelatih Shin buat menyenangkan publik dan pemangku secara pragmatis. Iya enggak sih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H