Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tami

22 Maret 2023   13:23 Diperbarui: 22 Maret 2023   13:31 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Bukankah saya pernah bersua anda?

Perempuan itu memandang dengan mata belok, giginya tersimpan rapih sesaat senyum kecilnya tergambar, dia tidak merespon, bahu putihnya yang terbuka, sedikit mengangkat ke atas.

Uhmm.. Jawabnya.
Saya tidak memaksa meremindnya, paras ayunya memang seperti cerita yang silam maupun yang akan datang dan saya bagai kehilangan tepi waktu.

Baiklah, saya Jo! Saya membuang lengan dan dia mengambilnya lembut.
Tami! Katanya.
Oke hari begitu basah sebaiknya kita menghangatkan di kafe sebelah! Saya menawarkannya.
Dia kelihatan berpikir di tengah atmosfer hujan yang jatuh disertai uap kopi yang harum mengapung di udara.
Tidak ada jeleknya! Perempuan itu menerima.

Lalu kami masuk kafe Sebelah, saya memesan kopi dan dia memesan  susu dan croissant ikan. Tak lama aku menikmati kopi di ruang beraroma herbal ini. Perempuan itu meminum susu dan memegang croissant ikan, dia tidak menggigitnya, dia mendenguskannya.

Kenapa?
Aku tak suka wewangi herbal! Dia melekatkan bau ikan croissant ke hidungnya yang bangir.
Maaf, kita bergeser saja ke beranda! Ajak saya. Dia sigap berdiri memegang gelas susu dan croissant ikan dan berjalan ke ruang  yang lebih banyak udara, saya mengikutinya.

Muaah..! perempuan cantik itu mengambil udara. Aku lega! Katanya. Saya mengangguk dan mulai suka menatap dia memakan roti lapis ikannya, perlahan dan lembut, seperti mengerat.

Kau menikmatinya! Aku saya, dia tak menggubris dan terus menikmati ikan dengan kedua tangannya. Hujan mulai menyurut, ketika lalu seekor kucing berbulu hitam melintas di tangga masuk.

Rrrgghhh..!! Tiba-tiba Tami menggereng, matanya bulat penuh menatap kucing legam yang pula berhenti bak mematung. Kucing itu mengeong tapi kepala kucing itu tampak surut tanpa berani membalas tatapan wanita Tami.

Kau fobia kucing? Saya bertanya. Dia tak hirau pertanyaan saya, dengan masih tetap pada mimiknya sampai kucing hitam di lantai basah itu memutuskan langkah seribu.

Dia meneruskan mengendus-ngendus kembali croaissant ikannya seperti tidak terjadi sesuatu apa. Saya tak mau berurusan, sampai Tami menghabiskan roti ikan dilanjutkan dengan menyeruput susu di permukaan cangkirnya. Segalanya habis dan saya hanya melihat lidah indahnya keluar mengusap bekas susu di sekitar bibirnya seperti lap.

Kau menikmatinya! Kata saya.
Dia mengangguk sembari memandangi piring dan cangkir yang telah melompong.

Aku harus segera pergi! Tiba-tiba perempuan indah itu beranjak.
Hei demikian singkat?! Langit masih menurunkan basah, tinggalah beberapa saat! Sergah saya.
Tapi dia tampak bersikeras. Mengenakan kembali mantel midinya dengan lekas seperti sesuatu urgent menyongsongnya.

Maaf, jika benar anda seakan pernah bersua dengan ku, aku tidak boleh mengulanginya. Maaf! Katanya cepat.
Kenapa!
Celaka! Mestinya hanya tersisa satu kali lagi!
Lalu perempuan itu melangkah ringan, geraknya seperti melompat. Saya hanya membisu dan mengamatinya bahwa langkahnya indah serupa kucing.

Jangan katakan lagi, rupanya ini sudah kali kesembilan, sudah tiba saatnya! Suara perempuan itu berteriak di dalam jaraknya menjauh, berlari lepas ke pedestrian jalan dan berbaur dengan orang-orang sibuk yang berjalan di pinggir jalan besar.

Pandangan saya terhalang pagar beton pemisah tak bisa lagi memperhatikannya lebih dari pandangan yang terbatas separuh dinding.
Tak sampai dua kali menit, saya mendengar suara rem kendaraan berdecit bercampur suara tumburan  logam dan klakson yang memekak. Orang-orang menjerit dan saya refleks melompat menyusul ke tepi jalanan searah jurusan perempuan Tami pergi.

Tampak orang-orang mulai merubung kecelakaan, beberapa berinisiatif memberi aba-aba perlahan di lalu lintas jalan. Saya mulai khawatir jangan-jangan Tami...?

Tubuh saya menegang, serta merta kedua lengan saya menguak beberapa orang di depan saya untuk memastikan korban, sebelum saya memperoleh pandangan, beberapa orang terdepan mendesis. Ah, kucing! Kucing, ya!

Dan ketika saya telah mencapai kerumunan terdepan, saya melihat seekor kucing terkulai mati berdarah pada beberapa titik di tubuhnya. Kucing itu berwarna putih, berbulu halus lembut, di lehernya masih tergantung seuntai kalung dengan lingkaran plat nama.
Hati saya berdegup mencoba menggapai dan mengangkat tubuhnya dan mengeja nama di kalungnya. Tami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun