Dia meneruskan mengendus-ngendus kembali croaissant ikannya seperti tidak terjadi sesuatu apa. Saya tak mau berurusan, sampai Tami menghabiskan roti ikan dilanjutkan dengan menyeruput susu di permukaan cangkirnya. Segalanya habis dan saya hanya melihat lidah indahnya keluar mengusap bekas susu di sekitar bibirnya seperti lap.
Kau menikmatinya! Kata saya.
Dia mengangguk sembari memandangi piring dan cangkir yang telah melompong.
Aku harus segera pergi! Tiba-tiba perempuan indah itu beranjak.
Hei demikian singkat?! Langit masih menurunkan basah, tinggalah beberapa saat! Sergah saya.
Tapi dia tampak bersikeras. Mengenakan kembali mantel midinya dengan lekas seperti sesuatu urgent menyongsongnya.
Maaf, jika benar anda seakan pernah bersua dengan ku, aku tidak boleh mengulanginya. Maaf! Katanya cepat.
Kenapa!
Celaka! Mestinya hanya tersisa satu kali lagi!
Lalu perempuan itu melangkah ringan, geraknya seperti melompat. Saya hanya membisu dan mengamatinya bahwa langkahnya indah serupa kucing.
Jangan katakan lagi, rupanya ini sudah kali kesembilan, sudah tiba saatnya! Suara perempuan itu berteriak di dalam jaraknya menjauh, berlari lepas ke pedestrian jalan dan berbaur dengan orang-orang sibuk yang berjalan di pinggir jalan besar.
Pandangan saya terhalang pagar beton pemisah tak bisa lagi memperhatikannya lebih dari pandangan yang terbatas separuh dinding.
Tak sampai dua kali menit, saya mendengar suara rem kendaraan berdecit bercampur suara tumburan  logam dan klakson yang memekak. Orang-orang menjerit dan saya refleks melompat menyusul ke tepi jalanan searah jurusan perempuan Tami pergi.
Tampak orang-orang mulai merubung kecelakaan, beberapa berinisiatif memberi aba-aba perlahan di lalu lintas jalan. Saya mulai khawatir jangan-jangan Tami...?
Tubuh saya menegang, serta merta kedua lengan saya menguak beberapa orang di depan saya untuk memastikan korban, sebelum saya memperoleh pandangan, beberapa orang terdepan mendesis. Ah, kucing! Kucing, ya!
Dan ketika saya telah mencapai kerumunan terdepan, saya melihat seekor kucing terkulai mati berdarah pada beberapa titik di tubuhnya. Kucing itu berwarna putih, berbulu halus lembut, di lehernya masih tergantung seuntai kalung dengan lingkaran plat nama.
Hati saya berdegup mencoba menggapai dan mengangkat tubuhnya dan mengeja nama di kalungnya. Tami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H