Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pergi Bersamamu

21 Maret 2023   21:23 Diperbarui: 21 Maret 2023   22:26 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Kami berjalan lembut tapi seperti serpihan angin, saya tidak memeluk bahunya bahkan mendekap jemarinyapun tidak, kami berdua berjalan saja seperti sudah mengenal tanah dan pepohonan di sini. Makanya kami tidak berbicara, saya tidak melarangnya dan diapun tidak mengenyahkannya, barangkali udara yang menyuruh kami membisu. Saya pikir saya tahu, hutan siapa ini, dan saya pikir dia juga tau hutan ini.

Tapi kita menuju rumah! Ceritanya singkat. Saya mengangguk menjawab dengan suara parau. Itu selalu yang kamu janjikan bukan?
Mmm! Kata dari bibirnya, terlihat matanya seperti bintang. Blink dan mempesona.

Matamu indah seperti kunang-kunang! Kata saya.
Sudah bukan lagi waktunya, sayang! Dia berbisik tanpa lepas mengamati pepohonan rimbun di kanan-kiri dan jalan setapak bagai lorong yang selalu senja.

Sekira duaribu depa ukuran waktu kami berjalan dan saya merasa hati saya lelah tetapi anggota tubuh saya tidak saturasi. Dan saya mendadak berhenti, persis di bawah pohon yang berdiameter semakin besar. Dia terheran dengan sosok saya yang tiba-tiba mengambil sila di cetakan rumput hijau seperti lumut.

Rumahnya ada di desa, belum di sini! Terangnya, rambutnya bergerai keperakan.
Kamu melihat ku berhenti disini? Tanya saya.
Dia menatap materi lain, matanya masih berkedip-kedip seperti lampu, saya tahu dia tidak bisa memandang saya jika saya berhenti.

Dia menggerakkan lengan lentiknya bak menari seperti merasakan suhu atmosfer. Sekejap lagi udara bersalju dan hutan akan dipenuhi kapas-kapas beku! Katanya.
Jalan ini tak berujung! Saya mengeluh.
Aneh! Dia tertawa samar.
Tak ada tanda sedikitpun arah rumah pertanian! Protes saya.
Kau berhenti tidak pada tempatnya, bagaimana? Ayok! Paksanya.

Saya mengambil udara panjang yang sudah mulai ditempati banyak oksigen berarti petang sudah menjelang, lalu saya bangkit dan kembali menjejerinya. Dia sendiri tidak bereaksi sedikitpun, hanya mungkin paras cantiknya menyiratkan rasa aneh kenapa saya berhenti di tempat tanpa rumah desa di sekitar.

Lalu kami berjalan semakin jauh, semakin rimbun, semakin gelap, dan semakin dalam, semakin pekat menyelam hutan dan melewati danau panjang yang sudah membeku. Saya pikir ini akan menjadi malam tergelap tahun ini, tapi saya sudah memikirkannya panjang lebar sebelum memutuskan petualangan ini. 

Memang saya akui tahun-tahun terakhir ini dia kerap datang, maksud saya perempuan ini, saya mengenalnya pertama saat dia pertama kali datang, tapi saya seperti mengenalnya sudah silam seperti suatu perjalanan yang pernah saya impikan.

Ketika itu saya seperti mengalami mimpi dimana di dalam mimpi itu saya juga bermimpi, akibatnya saya tidak mampu mengatasi batasan waktu selain kepercayaan. Ini seperti bisnis?  Tanya saya. Bukan! Kata perempuan pesona saat pertama tiba di mata saya.

Ini suatu janji yang harus anda tetpati! Jelasnya. Saya seperti mengabaikannya saja, kerna saya tidak pernah berjanji selama ini, tetapi begitu waktu berlari menghampiri bertubi-tubi, ternyata sayalah pemilik janji itu.

Aku tak akan mengingatkanmu soal janji! Itu urusanmu! Katanya terkahir tentang perjanjian.
Pikiran di dalam kepala yang kusut masai mulai terurai mana yang kusut dan mana yang masai, sampai saya merasakan hawa dingin saat melewati rimba yang semakin kelam, tetapi mata perempuan itu selalu saja ngeblink seperti pelita jalan.

Dia sempat berbisik menanyakan saya apakah ada kesalahan, saya menggeleng, kerna satu-satunya suara lain adalah suara sapuan dari angin yang mudah dan serpihan putih  salju berbulu halus.

Sampai di langkah ini saya tidak pernah menanyakannya lagi tentang tujuan rumah desa yang katanya di huninya. Saya sudah merasakan amat percaya kepada perempuan itu seperti belahan jiwa dan membiarkannya menetapkan jalan yang sudah dilaluinya.

Saya berjalan dengan perasaan tenang dengan langkah bagai melayang, menikmati jalan hutan yang tak terlihat ujungnya, tetapi hutannya begitu indah, gelap dan dalam.
Dan saya sudah memiliki janji untuk ditepati bermil-mil untuk pergi, sebelum saya tertidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun