Hari hujan menusuk dari atas, aku merapatkan jaketku ke leher penuh. Sepercik basah tak mengapa meski sekelebat beku menganga. Ini demi janji atau date? Tapi baru ke sekali dan aku tidak melihat lain selain tanda separuh. Apakah kamu mencintaiku?
Aku tiba pukul delapan, sedikit terlalu matang untuk  suatu malam yang normal, tapi itu kemauan kamu untuk bertemu di jam delapan. Aku mengibaskan cairan langit di jaket dan masuk ke dalam toko makan yang berbau kuah rempah.Â
Mengambil kursi yang nyaman buat berbicara dua orang, aku memesan kopi hitam. Masih tujuh menit menuju jarum delapan, aku memastikan hati bahwa kamu akan segera tiba.
Sekejap aku mereguk kopi yang berkilat, mataku menampak seorang perempuan di pintu masuk rumah makan. Aku memandangnya penuh, bahwa itu kamu sehingga aku membuka senyum, saat kamu menatap di jalur mataku. Dan kamu tersenyum melangkah menjelang meja persegi tempatku.
Kau sedikit berubah? Aku membuka kata.
Perempuan di depanku merendahkan diri ke kursi. Ah! Bukan!
Aku mennggariskan dahi menunggu kata bibirnya selanjutnya.
Oke? Kataku di tengah jeda.
Di memalingkan pandang ke wajahku lurus.
Maaf, saya Oli!
Jadi?
Ya, saya adik kembar Ola. Kakak Ola tidak bisa datang!
Aku menelan hawa kopi di tenggorokan.
Kenapa?
Oli hanya menggeleng. Aku menatap seluruh parasnya yang tidak berbeda dengan Ola, meskipun aku merasakan gestur yang tidak berbeda. Apakah aku ragu?
Kakak Ola sudah memutuskan! Katanya.
Aku menelisik kembali mata kembaran di hadapanku, dan mulai membaca buku yang mulai rusak. Mungkin ini adalah hari akhir keraguanku akan cinta Ola.
Apakah dia tidak mencintaiku?
Oli tidak melihatku, dia melihat ke arah jendela resto yang berwarna biru langit.
Dia mau sendiri dulu kak! Suara perempuan tipis.
Aku ikut menatap luar menembus kaca resto yang bening. Lama aku memikirkannya sehabis waktu yang terus berjalan dan membuatku mati rasa.
Kasih sayangku yang tinggi, begitu menguasaiku menemukan keengganan cinta dari perempuan Ola. Aku tiba-tiba berduka saat jam harapan kini mencapai puncaknya dan kamu tidak datang.
Oli, saudara kembarmu mewakili janji yang bersuara bahwa kamu tidak mencintaiku. Dan aku melihat janji itu menjadi demikian rusak.
Baiklah! Jawabku kelu.
Maafkan Ola ya Kak! Kakak tentu sudah menunggu lama!
Aku menarik udara panjang dan menghembuskannya perlahan menenangkan hingga di kepalaku.
Apakah tidak sepadan dengan satu tahun atau lebih, suatu kali anda, seorang wanita datang untuk menenangkan seorang priya yang terkoyak waktu, meskipun dia tidak mencintaiku? Aku berbicara perlahan yang ditujukan terlebih kepada diriku sendiri.
Oli terlihat menunduk, wajahnya meredup matanya mengembun. Lalu dia bangkit berdiri.
Aku pergi fulu, kak! Katanya sembari berbalik dan melangkah menuju pintu resto.
Aku mengangguk lesu sambil melepas pandang ke sosoknya yang berjalan pelan menjauh.
Hujan mulai membelai perlahan dengan garis yang menebal dan rapat, aku menatap kosong ke asap gulungan uap dingin itu.
Sementara di tikungan resto, Oli melenggang berjalan, sekelompok muda yang berpapasan menyapanya.
Hai Oli!
Oli tersenyum gigi putih indahnya berseri. Aku Ola! Jawabnya spontan.
Ola?? Ah, maaf kami kerap keliru mana Oli dan mana Ola. Maaf Ola! Sambut mereka serempak.
Ola pun kembali berlenggang  berlari kecil menjelang kembarannya Oli, yang telah menantinya di atas sepeda motor besar, lalu dia menaiki sadel belakang.
Beres Ola? Tanya Oli si pengendara.
Lai-laki itu? Beres Oli! jawab Ola
Dua gadis indentik itu menggelinding menderukan moge mereka, memecah hujan di jalan yang basah parah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H