Hari selalu senja begitu kereta komuter Jogja-Solo berjalan dan berhenti dari ujung Tugu ke ujung Palur, tapi saya tidak pernah sampai menapak ke Palur, saya selalu berhenti tegak lurus di Solo-Balapan. Berangkat terpagi pulang tersore, sehingga tidak ada warna hari lain di dalam gerbong yang beku, hanya warna senja.
Apakah anda pernah jumpa Arumi? Seorang pemuda menanyakan hal tidak biasa.
Maaf! Jawab saya.
Tapi bukankah anda setiap hari melakukannya?
Maksud kamu?
Perjalanan komuter ini!
Maaf, nama saya Ari! Katanya lagi.
Saya memandang pemuda itu, wajahnya tampan tetapi tidak bening, barangkali dia menyimpan sesuatu yang panjang, ada mata yang berharap akan sebuah jawaban, mungkin tepatnya harapan.
Benar kan? Dia mendesak, saya mengangguk.
Tapi saya tidak mengenal Arumi! Jawab saya.
Tapi anda sudah banyak melewatinya, seharusnya anda mengetahui Arumi! Katanya seperti menyesalinya.
Lalu tanpa lama pemuda itu meninggalkan saya, tepat di depan gedung kereta Solo-Balapan yang sempit untuk sebuah setasiun kereta kota.
Hari sudah masuk ke langit malam, saya tak hendak berpikir perjumpaan konyol ini karena rasa hati saya hanya lurus seperti terlalu banyak melintasi rel. Turun ke pedestrian stasiun jantung Solo ini selalu begitu, biasa dan selalu dalam keadaan biasa dan saya melangkah ke timur buat menjemput sepeda motor yang saya parkir di pendoponya dan saya mendengar suara seorang perempuan.
Mas! Mas!
Saya menoleh ke belakang mencari sumber suara tapi tak menemukan titiknya, mungkin karena noise derit roda kereta dan roda taksi online, saya kembali melangkah.
Mas! Mas!
Kembali saya freeze, menoleh, dan saya melihat seorang perempuan berjarak cukup melambaikan tangan ke arah saya, pandangan saya tak begitu bersih sementara sosok itu separuh berlari mendekati.Â
Dan saya tidak bisa melihat sepenuh parasnya karena dia memakai topi bucket yang cukup dalam sehingga lebih setengah wajahnya terbenam di bayang topi embernya yang serasi.